Kajian tentang Falsafah Sunda

Oleh Ajip Rosidi

Makalah Pelatihan Kepemimpinan Putra Sunda yang diadakan oleh Gema Jabar tanggal 21 Agustus 2006

Panitia meminta saya berbicara tentang “Kajian Sejarah dan Falsafah Sunda”. Sejarah dan Falsafah adalah dua bidang kajian yang berlainan dan masing-masing memerlukan keahlian sendiri, sedangkan saya bukan ahli dalam keduanya. Saya mau menerima permintaan Panita, namun hanya mengenai salah satu bidang saja, ialah tentang Falsafah Sunda. Bukan karena saya merasa tahu tentang falsafah Sunda, melainkan karena belakangan ini saya dengar banyak sekali orang yang berbicara tentang “falsafah Sunda” yang menimbulkan tandatanya pada diri saya. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan “falsafah Sunda”? Yang saya tangkap kalau saya dengar orang berbicara atau menulis tentang “fasafah Sunda” hanyalah pikiran-pikiran orang itu sendiri yang sering tidak rasional, tidak sistimatis dan tidak jelas metodologinya. Biasanya merupakan campuran mitos, mistik dan kirata basa saja. Ngawur!

Panitia sendiri menulis dalam Term of reference-nya, bahwa “Sunda dan kesundaan sangat kaya akan pelajaran dan falsafah hidup.” Tidak tahu dari mana kesimpulan itu diperolehnya. Saya sendiri sampai sekarang tidak berhasil menemukan “kekayaan” itu. Banyak hal yang dibanggakan sebagai milik orang Sunda atau warisan dari karuhun Sunda, setelah dikaji agak mendalam ketahuan bawa sebenarnya hanya cangkokan saja dari India, dari Jawa, atau dari Islam. Pencangkokan yang sering tidak pula dilakukan secara profesional.

“Falsafah” atau “palasipah”, “filsafah”, “filsafat” artinya sama dengan istilah “philosophy” dalam bahasa Inggris. Menurut The Oxford Companion to Philosophy (ed. Ted Honderich, New York, Oxford University Press, 1995), definisi “philosophy” yang paling singkat dan tepat ialah berpikir tentang berpikir (thinking about thinking). Adapun definisi yang lebih rinci menurut buku itu ialah: berpikir secara kritis dan rasional, secara kurang lebih sistimatis mengenai keadaan umum dunia (metafisik atau tiori tentang eksistensi), pembenaran atas kepercayaan (epistemologi atau teori tentang ilmu pengetahuan) serta cara hidup sehari-hari (etika atau teori nilai).

Apakah orang Sunda mempunyai tradisi berpikir tentang berpikir? Pertanyaan sederhana ini susah dijawab, karena dalam tradisi filsafah, berpikir itu tidak hanya yang dilakukan dalam kepala seseorang, melainkan harus ditulis, sehingga bukan saja dapat diketahui oleh orang yang tidak berkenalan langsung dengan orang itu, melainkan juga kebenaran dan ketelitiannya dapat diukur dan diuji setiap saat. Harus diakui bahwa tradisi menulis di kalangan orang Sunda, walaupun ada naskah bahasa Sunda yang berasal dari abad ke-16 dan sejak abad ke-19 banyak sekolah didirikan di Tatar Sunda sehingga orang Sunda termasuk yang pertama mendapat kesempatan untuk menuliskan bahasa ibunya dengan huruf Latin dan menggunakannya dalam buku-buku yang tercetak, namun kebiasaan menulis, apalagi menuliskan pikiran-pikiran secara kritis dan rasional mengenai eksistensi kehidupan, dan mengenai teori ilmu pengetahuan tidak pernah berkembang. Yang kita temui dalam naskah-naskah kuna Sunda terutama tentang etika. Hal itu nampak dalam naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa dan huruf Sunda Kuna - yang sekarang hanya bisa dibaca dan dimengerti oleh beberapa orang saja, tidak akan lebih dari 10 orang! Begitu juga dalam naskah-naskah yang lebih kemudian yang ditulis dalam bahasa Sunda dengan huruf Pegon, huruf Hanacaraka, maupun dengan huruf Latin. Sejak abad ke-19, orang Sunda menuliskan bahasa Sunda yang diterbitkan berupa buku, tetapi seperti juga naskah-naskah isi buku-buku itu kebanyakan berupa cerita atau uraian tentang agama. Hampir tidak ada yang bersifat hasil pemikiran, apalagi yang kritis! Bersikap kritis dalam masyarakat Sunda dianggap kurang ajar. Henteu Nyunda.

Satu-satunya kekecualian mungkin hanyalah H. Hasan Mustapa (1852-1930) yang banyak menuliskan renungan dan pendapatnya yang kritis, terutama dalam bentuk puisi, walaupun banyak juga yang berbentuk prosa. Tetapi karya-karyanya kebanyakan disalurkan melalui cara pesantrén tradisional, yaitu beredar dengan disalin melalui tulisan tangan dari seorang kepada yang lainnya. Hanya tiga buah karyanya yang dicetak selama hidupnya yaitu Bab Adat Urang Priangan jeung Sunda Lianna ti Éta (1913) dan Buku Leutik Pertélaan Adat Jalma-jalma di Pasundan (1916). Keduanya merupakan deskripsi étnografis, bukan hasil renungan dan pemikirannya. Yang satu lagi, walaupun terbit ketika HHM masih hidup, namun disusun oleh W.A. (Wangsaatmadja), berjudul Balé Bandung (1924), yang merupakan kumpulan surat-menyurat antara HHM dengan Kiai Kurdi dari pesantrén Sukawangi, Singaparna. Surat-menyurat itu terutama membahas masalah ketuhanan (tauhid) dalam bentuk puisi rakyat.

Di samping itu masih dapat dipersoalkan apakah ada “falsafah” sesuatu bangsa atau suku bangsa? Kalau kita berbicara tentang falsafah Yunani misalnya, yang muncul adalah pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh banyak filosof: Sokrates, Plato, Aristoteles, Anaxagoras, Aristippus, Protagoras dll. Di samping itu ada juga falsafah Yunani modern yang berkembang pada zaman modern yang juga diwakili oleh banyak pemikir yang tidak selalu sejalan seperti Peter Vrailas-Armenis, Konstantine Tsatsos, Panayotis Kanellopoulos, Teophilos Voreas, Christos Androutsos dll. Keseluruhan pemikiran para filosof itulah yang membangun apa yang disebut “falsafah Yunani”. Di antara mereka pemikirannya bukan saja tidak selalu sejalan, melainkan sering juga bertentangan satu sama lain. Jadi bukan hanya satu macam pemikiran yang bulat menjadi hasil pemikiran orang Yunani. Hal yang sama terjadi juga kalau kita mau berbicara tentang “falsafah Cina”, “falsafah India”, “falsafah Jepang”, dll. Yang dimaksud selalu berarti seluruh pemikiran yang timbul di masing-masing negara itu dan tidak selalu merupakan kesatuan yang bulat, karena terdapat perbedaan bahkan pertentangan paham satu sama lain. Dengan demikian “falsafah orang Sunda” harusnya terdiri dari semua pemikiran yang dikemukakan orang Sunda selama sejarahnya tentang hidup, tentang mati, tentang seni, tentang agama dll. Masalahnya ialah karena orang Sunda tidak (banyak) meninggalkan naskah tertulis mengenai hal itu, sehingga kita sulit menjejakinya.

Kalau kita hendak berbicara tentang “filsafah Sunda” atau “falsafah orang Sunda”, kita tidak akan banyak menemukan hasil pemikiran orang Sunda yang tertulis. Memang pemikiran manusia tidak hanya dalam bentuk tulisan saja. Yang lisan pun bukannya tidak berharga. Tradisi lisan menurunkan pemikiran nenek moyang kepada anak cucunya melalui berbagai cara. Niscaya orang Sunda terutama mempergunakan cara lisan dalam menyampaikan kearifan hidupnya, karena tradisi tulisan belum melembaga dalam masarakat. Tapi sejak beberapa dasawara lembaga-lembaga lisan yang dahulu menjadi cara menurunkan kearifan hidup orang Sunda sudah tidak berfungsi lagi. Kearifan hidup dari nenek moyang tidak lagi disampaikan kepada anak cucu, karena masarakat Sunda mengalami perubahan yang sangat mendasar. Hanya sebagian kecil saja kearifan nenek moyang orang Sunda yang sempat dicatat dan dengan demikian tersimpan. Itu pun tidak dapat disalurkan untuk diketahui oleh anak-cucunya, karena lembaga-lembaga pendidikan dan komunikasi yang sekarang dikenal tidak memberi tempat untuk hal-hal demikian. Artinya kalaupun ada apa yang disebut “falsafah Sunda”, namun hampir tidak dikenal lagi oleh komunitas manusia yang sekarang disebut orang Sunda. Karena “falsafah” itu merupakan pandangan tentang hidup (dan juga tentang mati) yang dianut seseorang atau sekelompok orang, maka kadang-kadang “falsafah” diartikan sama dengan “pandangan hidup”. Istilah “pandangan hidup orang Sunda” pernah dijadikan kajian satu tim peneliti yang dilaksanakan kl. 20 tahun yl.

Proyék Sundanologi ketika dipimpin oleh Prof. Dr. Édi Ékadjati pada paruh kedua tahun 1980-an mengadakan penelitian tentang “Pandangan hidup Orang Sunda” dan menghasilkan tiga judul buku yang masing-masing dikerjakan oleh tim peneliti yang berlain-lainan. Yang pertama Pandangan Hidup orang Sunda seperti tercermin dalam Tradisi lisan dan Sastra Sunda (1987) yang ditulis oleh Tim yang dipimpin oleh Prof. Dr. Suwarsih Warnaén dengan anggota Dr. Yus Rusyana, Drs. Wahyu Wibisana, Drs. Yudistira K. Garna dan Dodong Djiwapradja SH. Yang kedua sama judulnya (1987), hanya dengan keterangan tambahan “Konsistensi dan Dinamika” dan walaupun Ketua Tim tetap, namun anggotanya berubah menjadi Dodong Djiwapradja SH, Drs. H. Wahyu Wibisana, Drs. Kusnaka Adimihardja MA, Dra Nina Herlina Sukmana dan Dra Ottih Rostoyati. Sedang yang ketiga judulnya berubah menjadi Pandangan Hidup Orang Sunda seperti tercermin dalam kehidupan Masyarakat Dewasa Ini (1988/1989) dengan Tim yang terdiri dari Dr. Yus Rusyana, Drs. Yugo Sariyun MA, Dr. Edi S. Ekadjati, dan Drs. Undang Ahmad Darsa.
Ketiga buku itu sampai sekarang merupakan hasil kajian yang boleh dikatakan cukup mendalam tentang pandangan hidup orang Sunda, baik yang tertulis dalam naskah-naskah dan buku-buku, maupun yang terdapat dalam tradisi lisan dan berdasarkan hasil wawancara terhadap orang-orang Sunda dewasa ini - yaitu pada masa penelitian itu dilangsungkan kl. 20 tahun yl. Penelitian tahap I sampai pada kesimpulan yang ternyata konsisten dengan hasil penelitian pada tahap II, namun kesimpulan pada tahap III menunjukkan terjadi pergeseran-pergeseran dalam berbagai hal.

Dalam kesempatan ini saya ingin menjadikan hasil penelitian itu sebagai pegangan kita dalam mencari jawaban atas pertanyaan apa dan bagaimana gerangan yang disebut “falsafah Sunda” tanpa terjebak dalam persoalan apakah istilah “falsafah” yang dimaksud oleh Panitia sama dengan istilah “pandangan hidup”, tidakkah “pandangan hidup” lebih sempit dari “falsafah” dan sebagainya.
*

Penelitian tentang Pandangan hidup Orang Sunda seperti tercermin dalam tradisi lisan dan sastera Sunda, dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:
1.pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi;
2.pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat;
3.pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan alam;
4.pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan;
5.pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah.

Pada tahap pertama penelitian dilakukan terhadap tradisi lisan dan sastera Sunda, yaitu yang berupa ungkapan tradisional, carita pantun Lutung Kasarung, naskah Sanghyang Kanda ng Karesian, sawér pangantén, roman Pangéran Kornél (1930) dan Mantri Jero (1928) karya R. Méméd Sastrahadiprawira. Pada tahap kedua penelitian dilakukan terhadap uga, Bab Adat Urang Priangan jeung Sunda lian ti éta (1913) karya H. Hasan Mustapa, cerita-cerita si Kabayan, cerita rakyat (yang sudah dibukukan), roman Rusiah nu Goréng Patut (1928, harusnya 1927) karya Yuhana, Lain Éta (1934) karya Moh. Ambri, Maot dina Dahan Jéngkol (1986) karya Ahmad Bakri.

Menurut kesimpulan para peneliti, tidak banyak berbeda hasil penelitian tahap I dan tahap II, kecuali bahwa penelitian tahap I memberikan gambaran tentang pandangan hidup orang Sunda golongan élit, sedangkan penelitian tahap II memberikan gambaran tentang pandangan hidup orang Sunda kebanyakan (balaréa).

Penelitian tahap III dilakukan dengan mengajukan kuesioner kepada sejumlah orang Sunda kontemporer (yang hidup pada waktu penelitian dilangsungkan), sebagai sampel diambil beberapa wilayah di Tatar Sunda, ialah Kotamadya Bandung, Sumedang Kota, Cianjur Kota, Sumedang pedesaan, Garut pedesaan, Tasikmalaya pedesaan dan Sukabumi pedesaan. Semua responden dari seluruh wilayah jumlahnya 7 X 48 orang = 336 orang, berusia antara 17 - 60 tahun, baik orang yang mampu maupun yang tidak mampu, baik pegawai negeri atau pun bukan. Tim peneliti menganggap bahwa sampel 336 orang itu representatif mewakili orang Sunda masa penelitian dilakukan yang jumlahnya pasti di atas 20 juta orang.

Ternyata pada umumnya pandangan hidup orang Sunda kontemporer itu umumnya masih tetap sama dengan pandangan hidup orang Sunda hasil penelitian tahap I dan tahap II, kecuali pada beberapa hal terjadi pergeseran bahkan perubahan.

Secara singkat, akan saya rumuskan isi hasil penelitian tersebut sebagai berikut:
1. Pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi
Orang Sunda berpandangan bahwa manusia harus punya tujuan hidup yang baik, dan senantiasa sadar bahwa dirinya hanya bagian kecil saja dari alam semesta. Sifat-sifat yang dianggap baik al. harus sopan, sederhana, jujur, berani dan teguh pendirian dalam kebenaran dan keadilan, baik hati, bisa dipercaya, menghormati dan menghargai orang lain, waspada, dapat mengendalikan diri, adil dan berpikiran luas serta mencintai tanahair dan bangsa. Untuk mempunyai tujuan hidup yang baik, harus punya guru yang akan menuntunnya ke jalan yang benar. Guru dihormati dalam masyarakat Sunda. Bahkan Tuhan Yang Maha Esa juga disebut Guru Hyang Tunggal. Dalam naskah Siksa Kandang Karesian dikatakan bahwa orang dapat berguru kepada siapa saja. Dianjurkan agar bertanya kepada orang yang ahli dalam bidangnya. Teladani orang yang berkelakuan baik. Terimalah kritik dengan hati terbuka. Ambil manfaatnya dari teguran dan nasihat orang lain.

2. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat
Tujuan hidup yang dianggap baik oleh orang Sunda ialah hidup sejahtera, hati tenang dan tenteram, mendapat kemuliaan, damai, merdeka dan mencapai kesempurnaan di akhirat. Sejahtera berarti hidup berkecukupan. Tenang dan tenteram berarti merasa bahagia. Mendapat kemuliaan berarti disegani dan dihormati orang banyak, terhindar dari hidup hina, nista dan tersesat. Hidup damai artinya rukun, akrab dengan tetangga dan lingkungan. Orang yang merdeka artinya terlepas dari ujian dan terbebas dari hidup tanpa tujuan. Dan kesempurnaan akhirat ialah terhindar dari kema’siatan dunia dan ancaman neraka di akhirat.

Untuk mencapai tujuan hidup itu orang harus taat kepada ajaran-ajaran karuhun, pesan orangtua dan warisan ajaran yang tercantum dalam cerita-cerita pantun, dan yang berbentuk naskah seperti Siksa Kandang Karesian. Ajaran-ajaran itu punya tiga fungsi: (1) sebagai pedoman dalam menjalani hidup; (2) sebagai kontrol sosial terhadap kehendak dan nafsu yang timbul pada diri seseorang dan (3) sebagai pembentuk suasana dalam masyarakat tempat seseorang lahir, tumbuh dan dibesarkan yang secara tak sadar meresap ke dalam diri semua anggota masyarakat.
Semangat bekerjasama dalam masyarakat harus dipupuk dan dikembangkan. Harus saling hormat dan bertatakrama, sopan dalam berkata, sikap dan kelakuan. Harus saling sayangi sesama anggota masyarakat.

3. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan alam
Orang Sunda beranggapan bahwa lingkungan alam memberikan manfaat yang maksimal kepada manusia apabila dijaga kelestariannya, dirawat serta dipelihara dengan baik dan digunakan hanya secukupnya saja. Kalau alam digunakan secara berlebihan apalagi kalau tidak dirawat dan tidak dijaga kelestariannya, maka akan timbul malapetaka dan kesengsaraan.

Dalam Siksa Kandang Karesian misalnya terdapat ungkapan, “makan sekedar tidak lapar, minum sekedar tidak haus, berladang sekedar cukup untuk makan, dll. ” yang berarti tidak boleh berlebihan. Orang Sunda dianjurkan agar “siger tengah” atau “siniger tengah”, yaitu tidak kekurangan tetapi tidak berlebihan. Samasekali bukan untuk kemewahan, melainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan demikian tidak menguras atau memeras alam secara berlebihan, sehingga terjaga kelestariannya.

4. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan
Sejak pra-Islam, orang Sunda percaya akan adanya Tuhan dan percaya bahwa Tuhan itu Esa. Meskipun pernah memeluk agama Hindu, namun dewa-dewa Hindu ditempatkan di bawah Hyang Tunggal, Guriang Tunggal atau Batara Tunggal. Tuhan Maha Mengetahui, mengetahui apa yang diperbuat mahlukNya, karena itu manusia wajib berbakti dan mengabdi kepada Tuhan. Tuhan disebut juga Nu Murbéng Alam (Yang Menguasai Alam), Nu Mahawisésa (Yang Mahakuasa), Nu Mahaasih (Maha Pengasih), Gusti Yang Widi (Yang Maha Menentukan), Nu Mahasuci (Yang Maha Suci), dll. Tuhan menghidupi mahlukNya, memberi kesehatan, memberi rizki dan mematikannya pada waktunya.

5. Pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah.
Orang Sunda menghindari persaingan, lebih mengutamakan kerjasama untuk kepentingan bersama. Lebih menghargai musyawarah. Bekerja keras dan tidak mudah menyerah. Lebih mengutamakan mutu hasil kerja daripada kecepatan menyelesaikannya. Tidak menunda pekerjaan yang belum selesai apalagi menyerahkannya kepada orang yang bukan ahlinya. Mau mengerjakan yang baik meskipun pekerjaan kasar. Kesehatan dipelihara, makan cukup, pakaian bersih dan pantas, punya kedudukan, punya harta kekayaan. Tidak buru-buru menerima yang baru yang belum tentu baik dan tidak mudah meninggalkan yang berharga warisan nenekmoyang. Memperlihatkan rasa tanggungjawab, tidak boros, selalu mengukur keinginan dan keperluan dengan penghasilan, dan selalu hidup sederhana. Kreatif mencari lapangan kerja sendiri dan percaya pada kekuatan sendiri, menyesuaikan diri dengan lingkungan, dengan perkembangan zaman dan dengan kebiasaan yang berlaku di tempat hidupnya. Berusaha mencapai hari depan yang lebih baik. Mempelajari ilmu sampai mendasar sehingga dapat diamalkan.

Pergeseran dan perubahan
Dari hasil penelitian tahap III yang berupa kuesioner terhadap sejumlah sampel, di sejumlah daerah, terlihat adanya nilai-nilai yang tetap dipertahankan, ada yang bergeser dan ada pula yang berubah. Pada pandangan hidup manusia sebagai pribadi terdapat pergeseran mengenai pantangan (harus ada alasan yang masuk akal), hidup berkumpul dengan keluarga, membela kehormatan, hidup selamat dan hidup sederhana. Pandangan semula tidak ditolak sama sekali, tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman. Yang mengalami perubahan adalah mengenai bicara arif, bertindak hati-hati, ramah kepada pedatang, pengalihan kebiasaan dan tentang hidup yang dicita-citakan. Orang bicara tak usah lagi malapah gedang, lebih baik blak-blakan, tak usah terlalu menenggang perasaan orang lain. Terhadap para pedatang, sekarang menjadi harus waspada. Kebiasaan dirubah sesuai dengan kebutuhan, misalnya kebiasaan menanam padi, kalau ternyata memelihara ikan lebih menguntungkan, maka kebiasaan itu ditinggalkan.
Pada pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat, cenderung terjadi pergeseran dan perubahan dalam semua hal. Misalnya tentang membantu anggota keluarga yang miskin, sewaktu-waktu dan seperlunya saja, jangan sampai yang ditolong menggantungkan diri pada orang lain. Terhadap orang tua tidak lagi menuruti segala keinginan dan nasihatnya, bergeser menjadi asal tidak melupakan dan menghargai jasa-jasanya. Dalam menghadapi hal yang tidak disetujui, kalau semula diam, sekarang menyatakan pendapat dan merundingkannya, bahkan memerotesnya. Yang berubah ialah tentang perkawinan dengan orang daerah lain (menjadi terbuka), tentang tugas isteri terhadap suami (menjadi setara sebagai teman hidup).

Pada pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan, terjadi penguatan dan pergeseran. Kepercayaan orang Sunda akan Tuhan dan akan keesaan Tuhan, sekarang menjadi lebih kuat. Keyakinan akan Tuhan Mahakuasa kian kuat. Manusia harus berusaha dan berdo’a tapi pasrah akan hasilnya. Pendidikan agama dianggap kian penting baik di rumah, di sekolah, di madrasah, maupun di masjid. Yang bergeser adalah yang bertalian dengan upacara adat seperti membuat sasajén, dan sikap terhadap uga.
Pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah mengalami sedikit pergeseran. Umumnya nilai-nilai lama dipertahankan. Hanya kekayaan yang semula dipandang sebagai hal yang menimbulkan ketenteraman dan kebahagiaan sekarang dipandang sebagai hal yang mendorong orang untuk menyegani pemiliknya.

Dengan demikian Tim Peneliti berkesimpulan bahwa “pandangan hidup orang Sunda dengan tetap berakar pada tradisinya telah dan sedang mengalami pergeseran dan perubahan, setidak-tidaknya dialami oleh orang-orang yang menetap di kawasan sampel penelitian. ……………. Nampak pergeseran dan perubahan ke arah pandangan yang lebih waspada, yang lebih bertauhid dalam agama, yang lebih realistis dalam bermasyarakat dan lebih memahami aturan alam.” (jilid III h. 259).

Pareumeun Obor
Melihat bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian tahap I dan II, kita dapat diyakinkan bahwa hasilnya dapat dikatakan representatif mewakili alam pikiran orang Sunda seperti yang tercermin dalam tradisi lisan dan sastera Sunda - walaupun menimbulkan tandatanya mengapa dari H. Hasan Mustapa yang dijadikan bahan adalah Bab Adat Urang Priangan jeung urang Sunda Lian ti Éta saja yang merupakan deskripsi etnografis, dan tidak satu pun karyanya yang merupakan hasil pemikiran baik yang berbentuk prosa maupun yang berbentuk puisi dijadikan sumber. Tapi hal itu mungkin disebabkan karena karya-karya HHM umumnya belum diterbitkan sebagai buku - yang menimbulkan tandatanya pula karena banyak sumber lain yang berasal dari lisan malah digunakan sebagai bahan. Yang penting ternyata dalam hasil penelitian tahap I dan tahap II tidak tercermin adanya perubahan-perubahan dalam perjalanan masa, padahal bahan-bahan yang digunakan itu berasal dari masa dan lingkungan yang tidak sama. Begitu pula melihat bahwa dalam penelitian tahap III, yang dijadikan sampel hanya 336 orang, kita bertanya-tanya apakah benar telah secara representatif mewakili alam pikiran orang Sunda yang jumlahnya pasti lebih dari 20 juta, meskipun peneliti telah berusaha mengajukan kuesioner kepada orang Sunda di kota maupun di pedesaan.

Keraguan itu diperkuat ketika kita membaca hasilnya yang menimbulkan tandatanya, misalnya apakah betul hanya terjadi sedikit pergeseran dan perubahan pada pandangan hidup orang Sunda yang dirumuskan dalam penelitian tahap I dan II dengan hasil penelitian tahap III? Apakah betul pandangan hidup orang Sunda tetap berakar pada tradisinya dengan hanya mengalami pergeseran dan perubahan sedikit pada hal-hal tertentu saja?

Misalnya bertalian dengan pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi, hasil penelitian tahap I dan II menyatakan bahwa a.l. “orang Sunda itu berani dan teguh pendirian dalam kebenaran dan keadilan ……berpikiran luas serta mencintai tanahair dan bangsa”. Padahal dalam kehidupan nyata di sekeliling kita sekarang, apakah kita melihat nilai-nilai tersebut dilaksanakan oleh orang Sunda? Mungkin ada orang-orang Sunda yang demikian, tetapi menurut pengamatan saya bukanlah merupakan nilai yang secara umum diperlihatkan oleh orang Sunda sehari-hari. Memang ada Tétén Masduki, ada Erry Riyana Hardjapamekas, dan beberapa orang atau beberapa puluh orang lagi, tetapi secara umum orang Sunda tidak bersikap seperti mereka. Kebanyakan merasa lebih baik memilih diam melihat kebenaran dan keadilan diperkosa. Umumnya menganggap bersikap pura-pura tidak tahu sebagai sikap yang bijaksana - alias tidak bersikap “berani dan teguh pendirian”. Nilai-nilai tersebut mungkin dijaring dari naskah kuna seperti Siksa Kandang Karesian yang ditulis pada tahun 1518, ketika kerajaan Sunda masih berdiri dan manusia Sunda masih merdeka. Tetapi setelah Tatar Sunda dijajah Mataram (sejak awal abad ke-16) dan kemudian oleh Belanda (sejak abad ke-18) dan Jepang (1942-1945), manusia Sunda menjadi manusia yang paling lama dijajah di Indonesia dan mentalnya sudah berubah menjadi mentalitas manusia jajahan, yang selalu ketakutan dan tidak berani mengemukakan pikiran sendiri karena “heurin ku létah” dan sebagai abdi dalem yang setia selalu melihat ka mana miringna bendo. Lebih mengutamakan keselamatan dan kedudukan pribadi daripada memperlihatkan sikap “berani dan teguh pendirian dalam kebenaran dan keadilan”.

Menurut Siksa Kandang Karesian orang harus menerima kritik dengan hati terbuka, tetapi kita tahu kritik dianggap tabu dalam masyarakat Sunda bahkan juga sampai sekarang. Orang yang berani mengeritik dianggap henteu Nyunda! Artinya telah terjadi pergeseran dari sikap terbuka terhadap kritik yang terdapat pada masa Siksa Kandang Karesian. Tetapi sejak kapan pergseran itu terjadi, tidak diketahui.

Peneliti agaknya tidak menangkap bahwa nilai-nilai yang dimuat dalam Siksa Kandang Karesian sudah banyak yang tidak diikuti lagi dalam kehidupan nyata orang Sunda sejak beberapa lama - mungkin beberapa abad. Hal yang dapat kita maklumi karena naskah Siksa Kandang Karesian tidak dikenal lagi oleh orang Sunda umumnya sejak beberapa abad.

Juga mengenai pandangan hidup orang Sunda tentang hubungan manusia dengan alam, kita misalnya dapat mempertanyakan tentang kesadaran untuk melestarikan alam yang harus “dirawat dan dipelihara dengan baik dan digunakan secukupnya saja”. Sudah lama kita melihat - lama sebelum pada masa reformasi orang Sunda meranjah hutan Sancang dan hutan lindung lain sehingga di Tatar Sunda sekarang hampir bisa dikatakan tidak ada lagi hutan - para pejabat orang Sunda di Bappeda memperkosa tanah subur dan sungai-sungai dengan menjadikannya sebagai kawasan industri. Suara yang mengingatkan akan bahaya yang bisa ditimbulkannya tidak pernah didengar. Nasihat Siksa Kandang Karesian tentang “makan sekedar tidak lapar, minum sekedar tidak haus, berladang sekedar cukup untuk hidup” sudah lama tidak diperhatikan. Orang Sunda sekarang kebanyakan sudah terpengaruh oleh faham kapitalistis yang serakah dan tidak pernah merasa kenyang dengan apa yang sudah didapat.

Nilai-nilai dalam pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah juga sudah berubah. Mengutamakan mutu hasil kerja misalnya sudah dikalahkan oleh keinginan menghasilkan sebanyak mungkin - dengan konsekuensi mutunya menurun. Nilai tentang hidup sederhana sekarang hanya dilaksanakan karena terpaksa. Dan kalau terpaksa semua orang juga bisa, walaupun hasratnya yang menonjol adalah mencapai kehidupan duniawi yang penuh gemerlapan. Kalau perlu tanpa memperhatikan larangan-larangan yang diturunkan dari leluhurnya. Juga nilai “tidak buru-buru menerima yang baru yang belum tentu baik dan tidak mudah meninggalkan warisan nenek moyang yang berharga” tidak kelihatan lagi. Sekarang semua orang seperti berlomba-lomba menerima bahkan merebut yang baru walaupun belum tahu baik buruknya dan tidak nampak usaha untuk mempertahankan warisan nenekmoyang yang berharga.

Pertanyaan-pertanyaan itu timbul karena memang kita sebagai orang Sunda, sebagai bangsa Indonesia, sedang mengalami perubahan sosial yang luar biasa. Perubahan yang mengguncangkan dan mencabut nilai-nilai warisan nenekmoyang yang karena perjalanan sejarah tidak dapat disampaikan secara baik dari generasi tua kepada generasi selanjutnya, baik secara lisan maupun secara tulisan. Misalnya nilai-nilai yang dikemukakan dalam Siksa Kandang Karesian, yang pada masanya menjadi pegangan orang banyak selama berabad-abad hanya secara fragmentaris saja disampaikan oleh generasi tua kepada generasi yang berikutnya. Sementara itu telah datang agama, budaya dan nilai-nilai baru dari luar yang merasuk ke dalam masyarakat baik yang di kota maupun yang di desa, baik yang termasuk golongan elit maupun yang termasuk golongan balaréa, dibawa oleh para saudagar, para penjajah, dan lain-lain. Semuanya itu mempengaruhi nilai-nilai yang dianut oleh orang Sunda dalam hidupnya dari masa ke masa. Sementara pewarisan nilai-nilai asli peninggalan nenekmoyangnya tidak berlangsung secara baik, sehingga orang Sunda sekarang seperti pareumeun obor.

Pabelan, 12 Agustus, 2006.

Download
Saterasna...
Téks Carita Parahyangan

I

Ndéh nihan Carita Parahiyangan.
Sang Resi Guru mangyuga Rajaputra.
Rajaputra miseuweukeun [1] Sang Kandiawan lawan Sang Kandiawati, sida sapilanceukan. Ngangaranan manéh Rahiyangta
Déwaraja. Basa lumaku ngarajaresi ngangaranan manéh Rahiyangta ri Medangjati, inya Sang Layuwatang, nya nu nyieun Sanghiyang Watang Ageung.
Basana angkat sabumi jadi manik sakurungan, nu miseuweukeun pancaputra; Sang Apatiyan [2] Sang Kusika, Sang Garga Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Putanjala inya Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, Sang Katungmaralah [3], Sang Sandanggreba, Sang Wretikandayun.

II

Hana paksi Si Uwur-uwur, paksi Si Naragati, nyayang di titrayatra [4] Bagawat Resi Makandria [5]. Dihakan anakna ku salakina. Diseuseul [6] ku éwéna [7].
Carék éwéna, "Papa urang, lamun urang teu dianak, jeueung Bagawat Resi Makandria.
Ditapa sotéh papa, ja hanteu dianak."
Carék Bagawat Resi Makandria, "Dianak ku waya, ja éwé ogé hanteu."
Ti inya carék Bagawat Resi Makandria, "Aing dék leumpang ka Sang Resi Guru, ka Kéndan."
Datang siya ka Kéndan.
Carék Sang Resi Guru, "Na naha siya Bagawat Resi Makandria, mana siya datang ka dinih?"
"Pun samapun [8], aya béja kami pun, kami ménta pirabieun pun. Kéna kami
kapupulihan ku Paksi Si Uwur-uwur, paksi Si Naragati, papa baruk urang hanteu di na anak."
Carék Sang Resi Guru, "Leumpang siya ti heula ka batur siya deui, anaking Pwah Aksari Jabung, leumpang husir Bagawat Resi Makandria, na pideungeuneun satapa, anaking."
Leumpang Pwah Rababu, datang ka baturna, teu diaku rabi. Nyeueung inya wedadari
geulis, ti inya nyieun manéh Pwah Manjangandara, na Bagawat Resi Makandria nyieun
manéh Rakéyan Kebowulan, sida pasanggaman. Carék Sang Resi Guru,
"Étén [9] anaking, Pwah Sanghiyang Sri! Leumpang kita ngajadi ka lanceuk siya, ka
Pwah Aksari Jabung."
Ti inya leumpang Pwah Sanghiyang Sri ngajadi, inya Pwah Bungatak Mangaléngalé.

III

Carék Sang Mangukuhan, "Nam adiing [10] kalih, urang ngaboro [11] leumpang ka
tegal."
Sadatang ka tengah tegal, kasampak Pwah Manjangandara deung Rakéyan Kebowulan.
Digérékeun ku sang pancaputra; beunangna samaya, asing [12] nu numbak inya ti
heula, nu ngeunaan inya, piratueun [13].
Keuna ku tumbak Sang Wretikandayun, Kebowulan jeung Pwah Manjangandara.
Lumpat ka patapaanana, datang paéh. Dituturkeun ku Sang Wretikandayun. Pwah
Bungatak [14] Mangaléngalé kasondong nginang deung Pwah Manjangandara; ku Sang
Wretikandayun dibaan pulang ka Galuh, ka Rahiyangta ri Medangjati.

IV

Lawasniya adeg ratu lima welas tahun, disilihan ku Sang Wretikandayun di Galuh,
mirabi Pwah Bungatak Mangaléngalé.
Na Sang Mangukuhan nyieun manéh panghuma; Sang Karungkalah nyieun manéh
panggérék, Sang Katungmaralah nyieun manéh panyadap; Sang Sandanggreba nyieun
manéh padagang. Ku Sang Wretikandayun diadegkeun Sang Mangukuhan,
Rahiyangtang Kulikuli; sang Karungkalah diadegkeun Rahiyangtang Surawulan; Sang
Katungmaralah diadegkeun Rahiyangtang Pelesawi [15]; Sang Sandanggreba
diadegkeun Rahiyangtang Rawunglangit.
Sang Wretikandayun adeg di Galuh. Ti inya lumaku ngarajaresi, ngangaranan manéh
Rahiyangta ri Menir [16]. Basana angkat sabumi jadi manik sakurungan, inya nu
nyieunna Purbatisti.
Lawasniya ratu salapan puluh tahun.
Disilihan ku Rahiyangtang Kulikuli, lawasniya ratu dalapan puluh tahun.
Disilihan ku Rahiyangtang Sarawulan, lawasniya ratu genep tahun, katujuhna panteg
kana goréng twah.
Disilihan ku Rahiyangtang Rawunglangit, lawasniya adeg ratu genep puluh tahun.

V

Disilihan ku Rahiyangtang Mandiminyak.
Seuweu Rahiyangta ri Menir [17], teluan sapilanceukan; anu cikal nya Rahiyang
Sempakwaja, adeg Batara Dangiyang Guru di Galunggung; Rahiyangtang Kedul, adeg
Batara Hiyang Buyut di Denuh; Rahiyangtang Mandiminyak adeg di Galuh.
Carék Sang Resi Guru, "Karunya aing ka Rahiyang Sempakwaja hanteu diboga [18] éwé.
Anaking Pwah Rababu! Kita leumpang husir Rahiyang Sempakwaja, kéna inya
pideungeuneun siya satapa."
Sang Resi ngagisik tipulung [19] jadi jalalang bodas, leumpang ngahusir Rahiyang
Sempakwaja, eukeur melit [20].
Carék Rahiyang Sempakwaja, "Na naha jalalang bodas éta?"
Top sumpit. Nya mana dihusir, dék nyumpit inya. Kapanggih Pwah Rababu eukeur
mandi di Sanghiyang Talaga Candana.
Carék Rahiyang Sempakwaja, "Ti mana kéh, éta nu mandi?"
Éta diléléd sampingna ku sumpit. Beunang diléléd. Aya deungeunna Pwah Aksari kalih,
tuluy lalumpatan ka tegal. Pwah Rababu dicokot ku Rahiyang Sempakwaja, dipirabi,
dikasiahan na Pwah Rababu. Nya mana diseuweu, inya Rahiyang Purbasora, Rahiyang
Demunawan, dwaan sapilanceukan.

VI

Ngareungeu tatabeuhan humung gumuruh tanpa parungon [21], tatabeuhan di Galuh.
Pulang ka Galuh teter nu ngigel.
Sadatang ka buruan ageung, carék Rahiyangtang Mandiminyak, "Sang Apatih, na saha
éta?"
"Béjana nu ngigel di buruan ageung."
"Éta bawa sinjang saparagi, iweu kéh pamalaan aing. Téhér bawa ku kita keudeukeudeu!"
Leumpang sang apatih ka buruan ageung, dibaan ka kadatwan na Pwah Rababu.
Dipirabi ku Rahiyangtang Mandiminyak, dirabi kasiahan na Pwah rababu. Diseuweu
patemuan, dingaranan Sang Salah.


VII

Carék Rahiyang Sempakwaja, "Rababu leumpang! Ku siya bwatkeun budak éta ka
Rahiyangtang Mandiminyak. Anteurkeun patemuan siya Sang Salahtwah."
Leumpang Pwah Rababu ka Galuh.
"Aing dititah ku Rahiyang Sempakwaja mwatkeun budak éta, beunang siya ngeudeungeudeu
aing téh."
Carék Rahiyangtang Mandiminyak, "Anak aing tu kita, Sang Salah."
Carék Rahiyangtang Mandiminyak, "Sang Apatih, ku siya teundeun kana jambangan.
Bawa ka tegal!"
Dibawa ku sang apatih ka tegal, sapamungkur [22] sang apatih, ti tegal metu ikang
aprama [23] tog ka langit, kabireungeuh ku Rahiyangtang Mandiminyak.
"Sang Apatih, husir deui teundeun siya, budak ta!"
Dihusir ku sang apatih ka tegal, kasondong hirup. Dibaan ka hareupeun Rahiyangtang
Mandiminyak. Dingaranan Sang Sénna.

VIII

Lawasniya ratu tujuh tahun. Na Rahiyangtang Mandiminyak disilihan ku Sang Séna.
Lawasniya ratu tujuh tahun, disilih-jungkat ku Rahiyang Purbasora. Na Sang Séna
diintarkeun ka Gunung Marapi, diseuweu Rakéyan Jambri.
Ageung [24] sakamantrian, lunga ka Rahiyangtang Kedul, ka Denuh [25], ménta
dibunikeun.
Carék Rahiyangtang Kedul, "Putu aing mumul kapangkukan ku siya, sugan siya
kanyahoan ku ti Galuh. Leumpang siya husir Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang
Pandawa ring Kuningan, deung anak saha tu [26] siya?"
Carék Rakéyan Jambri, "Aing anak Rahiyang Sang Séna. Dijungkat, diintarkeun ku
Rahiyang Purbasora."
"Lamun kitu, mawa boga kami ngasuhan. Ngan mulah mo sambut samaya aing. Moga
ulah meunang prangan; lamun siya ngalaga prang [27] ka kami. Ngan siya leumpang
maratkeun, husir Tohaan di Sunda."
Sadatang ka Tohaan di Sunda [28], tuluy dipulung minantu ku Tohaan di Sunda. Ti inya
ditinggalkeun, ngahusir Rabuyut Sawal. Carék Rabuyut Sawal, "Saha siya?"
"Aing pun seuweu Sang Séna. Aing nanyakeun pustaka bawa Rabuyut Sawal. Eusina ma
ratuning bala sariwu; pakeun séda, pakeun sakti, paméré Sang Resi Guru."
Dibikeun ku Rabuyut Sawal.
Ti inya pulang ka Galuh Rakéyan Jambri. Tuluy diprang deung Rahiyang Purbasora.
Paéh Rahiyang Purbasora.
Lawasniya ratu tujuh tahun. Disilihan ku Rakéyan Jambri, inya Rahiyang Sanjaya.

IX

Carék Rahiyang Sanjaya, "Sang Apatih, leumpang siya, nanya ka Batara Dangiyang Guru
ku piparintaheun urang inih!"
Sadatang sang apatih ka Galunggung, carék Batara Dangiyang Guru, "Na naha béja siya,
Sang Apatih?"
"Pun, kami dititah ku Rahiyang Sanjaya ménta piparintaheun [29], adi Rahiyang
Purbasora."
Hanteu dibikeun ku Batara Dangiyang Guru. Carék Batara Dangiyang Guru, "Rahiyang
Sanjaya, leumpang nyandogé manéh. Éléhkeun Guruhaji Pagerwesi, éléhkeun Guruhaji
Mananggul, éléhkeun Guruhaji Tepus, éléhkeun Guruhaji Balitar. Lunga Rahiyang
Sanjaya; éléhkeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa ring Kuningan.
Nyandogé na kasaktian, kénana ta Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa ring
Kuningan, hanteu kawisésa Dangiyang Guru. Mana ingéléhkeun, inya sakti."
Rahiyang Sanjaya ka Kuningan, tuluy diprang. Éléh Rahiyang Sanjaya. Digérékan, teka
ring loh Kuningan [30], undur Rahiyang Sanjaya.
"Dara [31] aing para dinih, digérékan. Éléh [32] pun kami."
Ti inya pulang deui ka Galuh, Rahiyang Sanjaya.
Sang Wulan, Sang Tumanggal pulang deui ka Arilé. Rahiyang Sanjaya tuluy marék ka
Batara Dangiyang Guru. Carék Batara Dangiyang Guru, "Rahiyang Sanjaya, naha béja
siya datang ka dinih?"
"Aya pun béja kami, pun kami dipiwarang, éléh pun kami, supén pun kami [33]. Kami
meunang ku jadi, pun gumanti diboroan ku Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang
Pandawa ring Kuningan."
Pulang deui Rahiyang Sanjaya ka Galuh.

X

Carék Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang pandawa ring Kuningan, "Mawa pisajieun
leumpang ka Galunggung, widihan sajugala ma, palangka wulung, munding
satempahan [34], bras sapadangan."
Sateka siya ka Galunggung, mandeg ring Pakembangan. Kasondong ku Pakembangan,
majar ka Batara Dangiyang Guru. Carék Dangiyang Guru, "Naha béja siya?"
"Pun Batara Dangiyang Guru! Aya Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di
Kuningan."
"Bagéa amat, siya datang ka dinih. Leumpang siya ka Galuh. Ala Rahiyang Sanjaya,
mangka mawa pisajieun; widihan sajugala ma, saha palangka wulung, munding
satémpahan [35], kawali wesi, bras sapadangan."
Sadatang siya ka Galuh, carék Rahiyang Sanjaya, "Naha béja siya, Pakembangan?"
"Kami pun disuruh ku Dangiyang Guru. Rahiyang Sanjaya mangka nu sangkep mawa
pisajieun. Aya Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa ring Kuningan."
Lunga Rahiyang Sanjaya. Téka ri hareupeun Dangiyang Guru, carék Batara Dangiyang
Guru, "Rahiyang Sanjaya! Lamun kawisésa ku siya Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang
Pandawa ring Kuningan, aing nurut carék siya. Ja beunang ku aing kawisésa, turut
carékéng! Ja aing wenang nuduh tan [36] katuduh. Ja aing anak déwata."
Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa ring Kuningan kawisésa ku Batara
Dangiyang Guru.
Sang Wulan dijieun Guruhaji Kajaron.
Sang Tumanggal dijieun Guruhaji Kalanggara di Balamoha.
Sang Puki jadi Guruhaji Pagerwesi.
Sang Manisri dijieun Buyuthadén Rahaséa [37], di Puntang.
Buyuthadén Tunjungputih di Kahuripan.
Buyuthadén Sumajajah di Pagajahan.
Buyuthadén Pasugihan di Batur.
Buyuthadén Padurungan di Lembuhuyu.
Buyuthadén Darongdong di Balaraja.
Buyuthadén Pagergunung di Muntur.
Buyuthadén Muladarma di Parahiyangan.
Buyuthadén Batutihang di Kuningan.

XI

Rahiyang Sanjaya kawekasan ring Medang. Ratu
ring Galuh, Sang Seuweukarma. Ikang ari ratu Galuh, mananem sarwijagih Dadalem
gawey puja, lilir désa, séwabakti ring Batara Upati.
Rahiyangtang Wéréh, maka siya dingaran Rahiyangtang Wéréh, masa siya tinggal anak
sapilanceukan.
Rahiyangtang Kedul wurung ngadeg haji, kena rohang, ja mangka ngaran Rahiyang
Sempakwaja.
Rahiyangtang Kedul wurung ngadeg ratu kena kemir, ngaran mangadeg Wikuraja.
Siya jadi Tohaan di Kuningan, anakna ditapa, tu siya seuweu Rahiyang Sempakwaja.
Ujar Rahiyang Sanjaya, "Sama sanak ring aing aki! Lamun kitu ma karah. Ulah anggeus
narahan aing aki, sang apatih!"
Ujar sang apatih, "Mangka dapet deui urang nyayangan Sanghiyang Darmasiksa, mulah
mo déngé!"
Carékna patih kalih ka Rahiyang Sanjaya, "Lamun dék jaya prangrang, mangkat ti
Galuh!"
Prangrang ka Mananggul, éléh sang ratu Mananggul, Pwanala panulak sanjata. Tuluy ka
Kahuripan, diprangrang, éléh Kahuripan, na Rahiyangtang Wulukapeu nungkul. Tuluy
ka Kadul, diprangrang, éléh Rahiyang Supena, nungkul. Tuluy ka Balitar [38], diprang,
éléh sang ratu Bima.
Ti inya Rahiyang Sanjaya nyabrang ka désa Malayu. Diprang di Kemir, éléh
Rahiyangtang Gana. Diprang deui ka Keling, éléh Sang Sriwijaya. Diprangrang ka Barus,
éléh Ratu Jayadana. Diprang ka Cina, éléh Patih Sarikaladarma.
Pulang Rahiyang Sanjaya ka Galuh ti sabrang.
Ndéh humeneng.

XII

Rahiyangtang Kuku, Sang Seuweukarma di Arile, diheueumdeungna para patih; gusti
winekasan pangajaran kaparamartan.
"Nam urang marek, mawa tanggung ka Rahiyang Sanjaya. Mupu omas sakati, gangsal
(buhniya), bawaeun urang ka Rahiyang Sanjaya."
Ti inya diheueum deui di Galuh deu(ng) para patih kali(h).
"Nam, urang nyieun labur di jalan gedé pakeun nyungsung Sang Seuweukarma, ja turut
Rahiyangtang Kuku."
Sateka ka sisi(m)pang(an) ka Galuh deung ka Galunggung, disungsung, disocaan.
Ujar Rahiyangtang Kuku, "Sang apatih, bawa kami marék ka Rahiyang Sanjaya. Ornas
sakati, gangsal boéhniya."
Ujar sang apatih, "Pun Tohaan! Hanteu dipilarang na omas na beusi ku Rahiyang
Sanjaya, hengan huripna urang réa dipilarang."
Andéh kahimengan Rabiyangtang Kuku, pulang deui ka Arile.
Diheueum deungna para patih kalih.
Ujar Rahiyangtang Kuku, "Na naha pakeun urang bakti ka Rahiyang Sanjaya?"

XIII

Sakitu ménakna, ini tangtu Rahiyang Sempakwaja.
Ndéh nihan ta ujar Rahiyangtang Kuku, lunga ka Arile, ngababakan na Kuningan.
Kareungeu ku Rahiyangtang Kuku, inya Sang Seuweukarma ngadeg di Kuningan,
seuweu Rahiyang Sempakwaja; ramarénana pamarta ngawong rat kabéh.
Dayeuh paradayeuh, désa paradésa, nusa paranusa. Ti KeIing bakti ka Rahiyangtang
Kuku: Rahiyangtang Luda di Puntang. Rahiyangtang Wulukapeu di Kahuripan.
Rahiyangtang Supremana di Wiru. Rahiyang Isora di Jawa. Sang ratu Bima di Bali. Di
kulon di Tungtung Sunda nyabrang ka désa Malayu: Rahiyangtang Gana ratu di Kemir.
Sang Sriwijaya di Malayu. Sang Wisnujaya di Barus. Sang Brahmasidi di Keling.
Patihnira Sang Kandarma di Berawan. Sang Mawuluasu di Cimara-upatah. Sang
Pancadana ratu Cina. Pahi kawisésa, kena inya ku Rahiyangtang Kuku. Pahi
ngadegkeun haji sang ma¬nitih Saunggalah. Pahi ku Sang Seuweukarma kawisésa, kena
mikukuh tapak Dangiyang Kuning.
Sangucap ta Rahiyang Sanjaya di Galuh, "Kumaha sang apatih, piparéntaheun urang?
Hanteu di urang dipikulakadang ku Rahiyangtang Kuku. Sang apatih, leumpang,
dugaan ku kita ka Kuningan. Sugan urang dipajar koyo ilu dina kariya, ja urang hanteu
dibéré nyahoan, daék lunga."
Sang patih teka maring Kuningan, marék ka kadaton, umun [39] bakti ka Rahiyangtang
Kuku.
Ujar Rahiyangtang Kuku, "Deuh sang apatih, na naha na béja kita, mana kita datang ka
dinih?"
Ujar sang apatih, "Kami pun dititahan Rahiyangtang Sanjaya. Disuruh ngadugaan ka
dinih. Saha [40] nu diwastu dijieun ratu?"
Carék Rahiyangtang Kuku, "U sang apatih, yogya aing diwastu dijieun ratu ku na urang
réa. Ngan ti Rahiyang Sanjaya ma hanteu nitah ku dék kulakadang deung hamo ka
kami, ja bogoh maéhan kulakadang baraya. Ja aing ogé disalahkeun ka Kuningan ku
Rahiyang Sempakwaja. Aing beunang Rahiyang Sempakwaja nyalahkeun ka Kuningan
ini. Mana aing mo dijaheutan ku Rahiyang Sanjaya."
Pulang deui sang apatih ka Galuh. Ditanya ku Rahiyang Sanjaya, "Aki, kumaha carék
Rahiyangtang Kuku ka urang?"
"Pun Rahiyang Sanjaya! Rahiyangtang Kuku teu meunang tapana. Mikukuh Sanghiyang
Darma kalawan Sanghiyang Siksa. Nurut talatah Sang Rumuhun, ngawayangkeun awak
carita. Boh kéh ku urang turut tanpa tingtimanana. Biyaktakeun ku urang, ja urang
sarwa kaputraan, urang deung [41] Tohaan pahi anak déwata.
Ndéh inalap pustaka ku Rahiyang Sanjaya. Sadatang inungkab ikang pustaka. Sabdana
tangkarah,
"Ong awignam astu krétayugi balem raja kretayem rawanem sang tata dosamem, sewa
ca kali cab pratesora sang aparanya ratuning déwata sang adata adininig ratu déwata
sang sapta ratu na caturyuga."
"Dah umangen-angen ta Sang Resi Guru sidem magawéy Sang Kandiawan lawan Sang
Kandiawati. Mangkana manak Rahiyangtang Kulikuli, Rahiyangtang Surawulan,
Rahiyangtang Pelesawi. Rahiyangtang Rawunglangit, kamiadi Sang Wretikandayun.
Sang Wretikandayun mangka manak Rahiyangtang Sempakwaja, Rahiyangtang
Mandiminyak. Rahitangtang Mandiminyak mangka manak Sang Séna, Rahiyang Sang
Séna mangka manak Rahiyang Sanjaya."
Bo geulisan Dobana bawa bahetra piting deupa, bukana bwatan sarwo sanjata.
"Urang ka nusa Demba!"
Data sira lunga balayar.
Kareungeu ku Sang Siwiragati. Dek mwatkeun Pwah Sang kari Pucanghaji Tunjunghaji
ditumpakkeun dina liman putih. Dék ngajangjang turut buruan; momogana teka
Rahiyangtang Kuku, Sang Seuweukarma ka nusa Demba, tuluy ka kadatwan, calik
tukangeun Sang Siwiragati.
Rahiyangtang Kuku dihusir ku liman putih, lumpat ka buruan mawa Pwah Sangkari.
Hanteu aya pulang deui ka kadatwan liman putih ta, bakti ka Rahiyangtang Kuku.
Pulang deui Rahiyangtang Kuku ka Arile, dibawa na liman putih deung Pwah Sangkari.
Manguni:
"Naha hanteu omas saguri, sapetong, sapaha sapata-payan?" Tuluy ka Galuh ka
Rahiyang Sanjaya, hanteu sindang ka Arile. Dibawa na liman putih, dirungkup ku
lungsir putih tujuh kayu diwatang ku premata mas mirah komara hinten.
Datang siya ti désa Demba, tuluy ka kadatwan. Sateka Rahiyangtang Kuku ring kadaton,
mojar ka Rahiyang Sanjaya. naha suka mireungeuh liman putih.
Tanyana: "Mana?"
"Tuluy dipitutunggangan, diaseukeun Pwah Sangkari ka Rahiyang Sanjaya. Sateka ring
dalem hanteu pulang deui.
Dah Rahiyang Sanjaya: "Naha tu karémpan? Aing ayeuna kreta, aing deung bapangku,
Rahiyangtang Kuku, Sang Seuweukarma. Hanteu ngalancan aing ayeuna. Ajeuna nu
tangkarah:
"Alas Dangiyang Guru di tengah, alas Rahiyang Isora di wétan paralor Paraga deung
Cilotiran, ti kulon Tarum, ka kulon alas Tohaan di Sunda."
Dah sedeng pulang Rahiyangtang Kuku ka Arile, sadatang ka Arile panteg hanca di
bwana, ya ta sapalayaga dirgadisi lodah.
Mojar Rahiyang Sanjaya, ngawarah anaknira Rakéan Panaraban, inya Rahiyang
Tamperan: "Haywa dék nurutan agama aing, kena aing mretakutna urang réya."
Lawasniya ratu salapan tahun,disiliban ku Rahiyang Tamperan.

XV

Tembey Sang Resi Guru ngayuga taraju Jawadipa, taraju ma inya Gulunggung, Jawa ma
ti wétan.
Di pamana Sunda hana pandita sakti, ngaraniya Bagawat Sajalajala, pinejahan tanpa
dosa. Mangjanma inya Sang Manarah, anak Rahiyang Tamperan, dwa sapilanceukan
denung Rahiyang Banga.
Sang Manarah males hutang; Rahiyang Tamperan sinikep deneng anaknira. Ku Sang
Manarah dipanjara wesi na Rahiyang Tamperan.
Datang Rahiyang Banga, ceurik, teher mawakeun sekul kana panjara wesi, kanyahoan
ku Sang Manarah. Tuluy diprangrang deung Rahiyang Banga. Keuna mukana Rahiyang
Banga ku Sang Manarah.
Ti inya Sang Manarah adeg ratu di Jawa pawwatan.
Carék Jawana, Rahiyang Tamperan lawasniya adeg ratu tujuh tahun, kena twah siya
bogoh ngarusak nu ditapa, mana siya hanteu heubeul adeg ratu.
Sang Manarah, lawasniya adeg ratu dalapanpuluh tahun, kena rampés na agama.
Sang Manisri lawas adeg ratu geneppuluh tahun, kena isis di Sanghiyang Siksa.
Sang Tariwulan lawasniya ratu tujuh tahun.
Sang Welengan lawasniya ratu tujuh tahun.

XVI

Ndéh nihan tembey Sang Resi Guru
miseuweukeun Sang Haliwungan, inya Sang Susuktunggal nu munar na Pakwan
reujeung Sanghiyang Haluwesi, nu nyaeuran Sanghiyang Rancamaya.
Mijilna ti [42] Sanghiyang Rancamaya:
"Ngaran kula ta Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, ratu hiyang
banaspati."
Sang Susuktunggal inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga
Maharajadiraja, ratu haji di Pakwan Pajajaran. Nu mikadatwan Sri-bima-untarayanamadura-
suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratudéwata.
Kawekasan Sang Susuktunggal, pawwatanna lemah suksi, lemah hadi, mangka premana
raja utama.
Lawasniya ratu saratus tahun.

XVII

Rahiyang Banga lawasnia ratu tujuh tahun, kena twah siya, mo makéyan agama bener.
Rakéyanta ri Medang lawasniya adeg ratu tujuh tahun.
Rakéyanta Diwus lawasniya ratu opatlikur tahun.
Rakéyanta Wuwus lawasniya ratu tujuhpuluhdua tahun.
Sang lumahing Hujung Cariang, lawasniya ratu telu tahun, kaopatna panteg kena salah
twah, daék ngala éwé sama éwé.
Rakéyan Gendang lawaniya ratu telulikur tahun.
Déwa Sanghiyang lawasniya ratu tujuh tahun.
Prebu Sanghiyang lawasniya ratu sawelas tahun.
Prebu Ditiya Maharaja lawasniya ratu tujuh tahun.
Sang lumahing Winduraja lawasniya ratu telulikur tahun.
Sang lumahing Kreta lawasniya ratu salapanpuluhdua tahun, kena mikukuh na twah
rampés, turun na kretayuga.
Disiliban deui ku Sang lumahing Winduruja, teu heubeul adeg, lawasniya ratu
dalapanwelas tahun.
Disilihan deui ku Sang Rakéyan Darmasiksa, pangupatiyan Sanghiyang Wisnu, inya nu
nyieun sanghiyang binayapanti, nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang
resi, ti sang disri, ti sang tarahan, tina parahiyangan.
Ti naha bagina?
Ti sang wiku nu ngawakan jati Sunda, mikukuh Sanghiyang Darma ngawakan
Sanghiyang Siksa.
Lawasniya ratu saratuslimapuluh tahun.
Manak Sang lumahing Taman lawasniya ratu genep tahun.
Manak deui Sang lumahing Tanjung, lawasnija ratu dalapan tahun.
Manak Sang lumahing Kikis, lawasniya ratu dwalikur tahun.
Sang lumahing Kiding, lawasniya ratu sapuluh tahun.
Manak Aki Kolot, lawasniya ratu sapuluh tahun.

XVIII

Manak deui Prebu Maharaja, lawasniya ratu tujuh tahun, kena kabawa ku kalawisaya,
kabancana ku seuweu dimanten, ngaran Tohaan. Mundut agung dipipanumbasna.
Urang réya sangkan nu angkat ka Jawa, mumul nu lakian di Sunda. Pan prangrang di
Majapahit.
Aya na seuweu Prebu, wangi ngaranna, inyana Prebu Niskalawastu Kancana nu surup di
Nusalarang ring giri Wanakusuma. Lawasniya ratu saratusopat tahun, kena rampés na
agama, kretajuga.
Tandang pa ompong jwa pon, kenana ratu élé h ku satmata. Nurut nu ngasuh Hiyang
Bunisora, nu surup ka Gegeromas. Batara Guru di Jampang.
Sakitu nu diturut ku nu mawa lemahcai.
Batara Guru di Jampang ma, inya nu nyieun ruku Sanghiyang Pak é, basa nu wastu
dijieun ratu. Beunang nu pakabrata séwaka ka d éwata [43]. Nu di tiru ogé paké
Sanghiyang Indra, ruku ta.
Sakitu, sugan aya nu d ék nurutan inya twah nu surup ka Nusalarang. Daé k él éh ku
satmata. Mana na kretajuga, él éh ku nu ngasuh.
Nya mana sang rama énak mangan, sang resi é nak ngaresisasana, ngawakan na
purbatisti, purbajati. Sang disri énak masini ngawakan na manusasasana, ngaduman
alas pari-alas. Ku b éét hamo diukih, ku gedé hamo diukih. Nya mana sang Tarahan
énak lalayaran ngawakan manu-rajasasana. Sanghiyang apah, teja, bayu, akasa, sangbu
énak-énak,ngalungguh di sanghiyang Jagatpalaka. Ngawakan sanghiyang rajasasana,
angadeg wiku énak di Sanghiyang Linggawesi, brata siya puja tanpa lum. Sang wiku
énak ngadéwasasana ngawakan Sanghiyang Watang Ageung, énak ngadeg manu-rajasuniya.
Tohaan di Galuh, inya nu surup di Gunungtiga. Lawasniya ratu tujuh tahun, kena salah
twah bogoh ka é stri larangan ti kaluaran.

XIX

Disilihan ku Prebu, naléndraputra premana, inya Ratu Jayadéwata, sang mwakta ring
Rancamaya, lawasniya ratu telupuluhsalapan tahun.
Purbatisti, purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal, musuh alit. Suka kreta tang
lor, kidul, kulon, wétan, kena kreta rasa.
Tan kreta ja lakibi dina urang réya, ja loba di Sanghiyang Siksa.

XX

Disilihan inya ku Prebu Surawisésa, inya nu surup ka Padaré n, kasuran, kadiran,
kuwamén.
Prangrang limawelas kali hanteu éléh, ngalakukeun bala sariwu.
Prangrang ka Kalapa deung Aria Burah. Prangrang ka Tanjung. Prangrang ka Ancol
kiyi. Prangrang ka Wahanten girang. Prangrang ka Simpang. Prangrang ka Gunungbatu.
Prangrang ka Saungagung. Prangrang ka Rumbut. Prangrang ka Gunung. Prangrang ka
Gunung Banjar. Prangrang ka Padang. Prangrang ka Panggoakan. Prangrang ka
Muntur. Prang rang ka Hanum. Prangrang ka Pagerwesi. Prangrang ka
Medangkahiyangan.
Ti inya nu pulang ka Pakwan deui. hanteu nu nahunan deui, panteg hanca di bwana.
Lawasniya ratu opatwelas tahun.

XXI

Prebu Ratudé wata, inya nu surup ka Sawah-tampian-dalem. Lumaku ngarajaresi. Tapa
Pwah Susu.
Sumbé lé han niat tinja bresih suci wasah. Disunat ka tukangna, jati Sunda teka.
Datang na bancana musuh ganal, tambuh sangkané. Prangrang di burwan ageung.
Pejah Tohaan Saréndét deung Tohaan Ratu Sanghiyang.
Hana pandita sakti diruksak, pandita di Sumedeng. Sang panadita di Ciranjang
pinejahan tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. Sang pandita di Jayagiri Iinabuhaken ring
sagara.
Hana sang pandita sakti hanteu dosana. Munding Rahiyang ngaraniya linabuhaken ring
sagara tan keneng pati, hurip muwah, moksa tanpa tinggal raga teka ring duniya.
Sinaguhniya ngaraniya Hiyang Kalingan. Nya iyatnajatna sang kawuri, haywa ta sira
kabalik pupuasaan.
Samangkana ta pr écinta.
Prebu Ratudé wata, lawasniya ratu dalapan tahun, kasalapan panteg hanca dina bwana.

XXII

Disilihan ku Sang Ratu Saksi Sang Mangabatan ring Tasik, inya nu surup ka
Péngpéléngan. Lawasniya ratu dalapan tahun, kenana ratu twahna kabancana ku estri
larangan ti kaluaran deung kana ambutéré. Mati-mati wong tanpa dosa, ngarampas
tanpa prégé, tan bakti ring wong-atuha [44], asampé ring sang pandita.
Aja tinut d é sang kawuri, polah sang nata.
Mangkana Sang Prebu Ratu, carita inya.

XXIII

Tohaan di Majaya alah prangrang, mangka tan nitih ring kadatwan. Nu ngibuda
Sanghiyang Panji, mahayu na kadatwan, dibalay manelah taman mihapitkeun dora
larangan. Nu migawe bale-bobot pituweJas jajar, tinulis pinarada warnana cacaritaan.

XXIV

Hanteu ta yuga dopara kasiksa tikang wong sajagat, kreta ngaraniya. Hanteu nu
ngayuga sanghara, kreta, kreta.
Dopara luha gumenti tang kali. Sang Nilak éndra wwat ika sangké lamaniya
manggirang, lumekas madumdum cereng. Manganugraha weka, hatina nunda
wisayaniya, manurunaken pretapa, putu ri patiriyan. Cai tiningkalan nidra wisaya ning
baksa kilang.
Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan [45]. Lawasniya ratu kampa
kalayan pangan, ta tan agama gayan kewaliya mamangan sadirasa nu surup ka sangkan
beunghar.
Lawasniya ratu genepwelas tahun.

XXV

Disilihan ku Nusiya Mulia. Lawasniya ratu sadewidasa [46], tembey datang na prebeda.
Bwana alit sumurup ring ganal, metu sanghara ti Selam.
Prang ka Rajagaluh, élé h na Rajagaluh. Prang ka Kalapa, él éh na Kalapa. Prang ka
Pakwan, prang ka Galuh, prang ka Datar, prang ka Madiri, prang ka Paté gé, prang ka
Jawakapala, él éh na JawakapaJa. Prang ka Galé lang. Nyabrang, prang ka Salajo, pahi éléh ku Selam.
Kitu, kawisésa ku Demak deung ti Cirebon [47], pun.































Dicutat tina
Atja (1968) Carita Parahiyangan: Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda. Bandung:
Jajasan Kebudajaan Nusalarang


Téks Carita Parahyangan

Tarjamahan dina basa Sunda kiwari:

I

Enya kieu Carita Parahiyangan teh.
Sang Resi Guru boga anak Rajaputra.
Rajaputra boga anak Sang Kandiawan jeung Sang Kandiawati, duaan adi lanceuk.
Sang Kandiawan teh nyebut dirina Rahiyangta Dewaradja.
Basa ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi, ngalandi dirina Rahiangta di Medangjati,
oge katelah Sang Lajuwatang, nya mantenna nu nyieun Sanghiang Watangageung.
Sanggeusna rarabi, nya lahir anak-anakna limaan, mangrupa titisan Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Puntandjala, nya eta: Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba jeung Sang Wretikandayun.

II

Aya manuk ngaranna si Uwur-uwur, oge katelah Si Naragati, nyayang di pangjarahan Bagawat Resi Makandria. Anakna dihakan ku jaluna. Dicarekan ku bikangna.
Carek bikangna: "Kacida hinana, lamun urang teu boga anak teh. Bireungeuh tuh
Bagawat Resi Makandria!Tatapa soteh bane bae sangsara da henteu boga anak."
Carek Bagawat Resi Makandria: "Kumaha rek boga anak. Da kawin oge henteu."
Ti dinya, carek Bagawat Resi Makandria: "Aing dek indit ka Sang Resi Guru, ka
Kendan."
Manehna datang ka Kendan.
Carek Sang resi Guru: "Na nahaon bejana, hidep Bagawat Resi Makandria, nu matak
datang ka dieu?" "Pangampura bae; saleresna aya piwartoseun. Dek nyuhunkeun
pirabieun. Lantaran kawartosan ku manuk si Uwur-uwur, nu nelah oge si Nagaragati.
Sanggemna kacida hinana, lamun urang teu gaduh anak."
Carek Sang resi Guru: "Jig hidep ti heula ka patapan deui. Anaking Pwah Rababu
geuwat susul Bagawat Resi Makndria. Lantaran nya manehna pijodoeun hidep teh,
anaking."
Pwah Rababu terus nyusul, dating ka patapan Sang Resi Makandria, teu diaku rabi.
Kabireungeuheun aya widadari geulis, ngarupakeun Pwah Mandjangandara, nya geuwat
Rasi Makandria ngajadikeun dirina Kebowulan. Terus sanggama.
Carek Sang Resi Guru: "Enten, anaking Pwah Sanghiang Sri! Jig hidep indit ngajadi ka
lanceuk hidep, ka Pwah Aksari Jabung."
Ti dinya Pwah Sanghiang Sri indit sarta terus nitis, nya lahir Pwah Bungatak
Mangalengale.

III

Carek sang Mangukuhan: "Nam adi-adi sadaya urang moro ka tegalan."
Sadatang ka tegalan, kasampak Pwah Manjangandara reujeung Rakean Kebowulan.
Diudag ku limaan, sarta beunangna pada jangji, yen saha anu pangheulana keuna
numbakna, nya manehna piratueun.
Keuna ditumbak ku Sang Wretikandayun, Kebowulan jeung Pwah Manjangandara teh.
Kebowulan lumpat ka patapan, sadatangna hos bae paeh.
Ku Sang Wretikandayun dituturkeun, kasampak pwah Bungatak Mangalengale keur
nyusu ka Pwah Manjangandara.
Pwah Bungatak Mangalengale teh ku Sang Wretikandayun di bawa mulang ka Galuh, ka
Rahiangta di Medangjati.

IV

Rahiyangan di Medangjati lawasna ngadeg ratu limawelas taun. Diganti ku Sang
Wretikandayun di Galuh, bari migarwa Pwah ngatak Mangalengale.
Ari Sang Mangukuhan jadi tukang ngahuma, Sang Karungkalah jadi tukang moro, Sang
Katungmaralah jadi tukang nyadap sarta Sang Sandanggreba jadi padagang.
Nya ku Sang Wreti Kandayun Sang Mangukuhan dijungjung jadi Rahiangtung Kulikuli,
Sang Karungkalah jadi Rahiangtang Surawulan, Sang Katungmaralah jadi Rahiyangtang
Pelesawi, Sang Sandanggreba jadi Rahiangtang Rawunglangit.
Sabada Sang Wretikendayun ngadeg ratu di Galuh, nya terus ngajalankeun kahirupan
sacara rajaresi sarta ngalandi dirina jadi Rahiangta di Menir. Dina waktu bumenbumen,
harita teh nya nyusun Purbatisti.
Lawasna jadi ratu salapanpuluh taun. Diganti ku Rahiang Kulikuli, lawasna jadi ratu
dalapanpuluh taun. Diganti ku Rahiangtang Surawulan, lawasna jadi ratu genep taun,
katujuhna diturunkeun, lantaran goring lampah. Diganti ku Rahiangtang Pelesawi,
lawasna jadi ratu saratusdualikur taun, lantaran hade lampah. Diganti ku Rahiangtang
Rawunglangit, lawasna geneppuluh taun.

V

Diganti ku Rahiangtang Mandiminyak.
Anak Rahiangta di Menir teh aya tiluan, nu cikal nya Rahiang Sempakwaja, ngadeg
Batara Dangiang Guru di Galunggung; Rahiangtang Kidul, ngadeg Batara Hiang Buyut
di Denuk; Rahiangtang Mandiminyak ngadeg ratu di Galuh.
Carek Sang Resi Guru: "Karunya aing ku Rahiang Sempakwaja henteu boga pamajikan.
Anaking Pwah Rababu! Hidep leumpang ungsi Rahiang Sempakwaja, lantaran aya
manehna pibatureun hidep tatapa."
Sang Resi Guru ngagesek totopong jadi jaralang bodas, nya indit nyampeurkeun
Rahiang Sempakwaja, nu harita kabeneran keur ngawelit.
Carek Sanghiang Sempakwaja: "Na naha nya aya jaralang bodas etah?"
Cop nyokot sumpit, terus diudag rek disumpit. Pwah Rababu kapanggih eukeur mandi
di talaga Candana.
Carek Rahiang Sempakwaja: "Ti ma etah nu mandi?" Sampingna dileled ku sumpit,
beunang. Aya baturna para Pwah Aksari, tuluy lalumpatan ka tegalan.
Pwah Rababu dibawa ku Rahiang Sempakwaja, dipirabi. Kacida dipikaasihna. Nya lahir
anakna lalaki duaan, nya eta Rahiang Purbasora jeung Rahiang Demunawan.

VI

Barang ngadenge tatabeuhan ngaguruh teu puguh rungukeuneunana, tatabeuhan di
Galuh, Pwah Rababu terus mulang ka Galuh di dinya teh taya kendatna nu ngigel.
Sadatangna kaburuan ageung, cek Rahiangtang Mandiminyak: "Patih, na naon eta
ateh?"
"Bejana nu ngigel di buruan ageung!"
"Eta bawa pakean awewe sapangadeg, sina marek ka dieu. Keun tanggungan aing.
Geuwat bawa sacara paksa!"
Patih indit ka buruan ageung. Pwah Rababu dibawa ka kadaton. Dipirabi ku
Rahiangtang Mandiminyak. Kacida bogohna ka Pwah Rababu. Tina sapatemonna, nya
lahir anak lalaki dingaranan Sang Sena.

VII

Carek Rahiang Sempakwaja: "Rababu jig indit. Ku sia bikeun eta budak ka Rahiangtang
Mandiminyak, hasil jinah sia, Sang Salahlampah."
Rababu tuluy leumpang ka Galuh.
"Aing dititah ku Rahiang Sempakwaja mikeun budak ieu, beunang sia ngagadabah aing
tea."
Carek Rahiangtang Mandiminyak: "Anak aing maneh teh, Sang Salah?"
Carek Rahiangtang Mandiminyak deui: "Patih ku sia budak teh teundeun kana
jambangan. Geus kitu bawa kategalan!"
Dibawa ku patih ka tegalan, Samungkurna patih, ti eta tegalan kaluar kila-kila nepi ka
awang-awang. Kabireungeuh ku Rahiangtang Mandiminyak.
"Patih teang deui teundeun sia nu aya budakna tea!"
Ku patih diteang ka tegalan, kasampak hirup keneh. Terus dibawa ka hareupeun
Rahiangtang Mandiminyak. Dingaranan Sang Sena.

VIII

Lawasna jadi ratu tujuh taun, geus kitu Rahiangtang Mandiminyak diganti ku Sang
Sena. Lawasna jadi ratu tujuh taun, diganti lantaran dilindih ku Rahiang Purbasora.
Kajaba ti eta Sang Sena dibuang Gunung Merapi, boga anak Rakean Jambri.
Sanggeusna manehna sawawa indit ka Rahiangtang Kidul, ka Denuh, menta
dibunikeun.
Carek Rahiangtang Kidul: "Putu, aing sangeuk kacicingan ku sia, bisi sia kanyahoan ku
ti Galuh. Jig ungsi Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan,
sarta anak saha sia teh?"
Carek Rakian Jambri: "Aing anak Sang Sena. Direbut kakawasaanana, dibuang ku
Rahiang Purbasora."
"Lamun kitu aing wajib nulungan. Ngan ulah henteu digugu jangji aing. Muga-muga
ulah meunang, lamun sia ngalawan perang ka aing. Jeung deui leuwih hade sia indit ka
tebeh Kulon, jugjug Tohaan di Sunda."
Sadatangna ka Tohaan di Sunda, tuluy dipulung minantu ku Tohaan di Sunda. Ti dinya
ditilar deui da ngajugjug ka Rabuyut Sawal.
Carek Rabuyut sawal: "Sia teh saha?"
"Aing anak Sang Sena. Aing nanyakeun pustaka bogana Rabuyut Sawal. Eusina teh,
'retuning bala sarewu', anu ngandung hikmah pikeun jadi ratu sakti, pangwaris Sang
Resi Guru."
Eta pustaka teh terus dibikeun ku Rabuyut sawal. Sanggeus kitu Rakean jambri miang
ka Galuh.
Rahiang Purbasora diperangan nepi ka tiwasna. Rahiang Purbasora jadina ratu ngan
tujuh taun. Diganti ku Rakean Jambri, jujuluk Rahiang Sanjaya.

IX

Carek Rahiang Sanjaya: "Patih, indit sia, tanyakeun ka Batara Dangiang Guru, saha
kituh anu pantes pikeun nyekel pamarentahan di urang ayeuna."
Sadatangna patih ka Galunggung, carek Batara Dangiang Guru: "Na aya pibejaeun
naon, patih?"
"Pangampura, kami teh diutus ku Rahiang Sanjaya, menta nu bakal marentah, adi
Rahiang purbasora."
Hanteu dibikeun ku Batara dangiang Guru.
Carek Batara Dangiang Guru: "Rahiang Sanjaya, indit beunangkeun ku sorangan.
Elehkeun Guruhaji Pagerwesi, elehkeun Wulan, Sang Tumanggal, elehkeun Guruhaji
Tepus jeung elehkeun Guruhaji Balitar. Jig indit Rahiyang Sanjaya; elehkeun Sang
Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan. Maranehna meunang kasaktian,
nu ngalantarankeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan henteu
kabawah ku dangiang Guru. Lamun kaelehkeun bener maneh sakti."
Rahiang Sanjaya tuluy perang ka Kuningan. Eleh Rahiang Sanjaya diubeuber, nepi ka
walungan Kuningan. Rahiang Sanjaya undur.
"Teu meunang hanteu aing kudu ngungsi ka dieu, lantaran diudag-udag, kami kasoran."
Ti dinya Rahiang Sanjaya mulang deui ka Galuh, Sang Wulan, Sang Tumanggal mulang
deui ka Arile.
Rahiang Sanjaya tuluy marek ka Batara Dangiang Guru, Carek Batara Dangiang Guru:
"Rahiang Sanjaya, naon pibejaeun sia, mana sia datang ka dieu?"
"Nya eta aya pibejaeun, apan kami dipiwarang, tapi kami eleh. Ti mana kami unggulna,
anggur kami diuber-uber ku Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di
Kuningan." Sanggeus kitu Rahiang Sanjaya tuluy mulang ka Galuh.

X

Carek Sang Wulan, Sang Tumanggal, sang Pandawa di Kuningan: "Mawa pisajieun,
urang miang ka Galunggung, pakean lalaki sapangadeg, pangcalikan, munding sarakit
(?), beas sacukupna pikeun dahar."
Sadatang ka Galunggung, eureun di Pakembangan. Kasampak ku (Sang) Pakembangan.
tuluy popojan ka Batara Dangiang Guru.
Carek Batara Dangiang Guru: "Aya beja naon?"
"Pun Batara Dangiang Guru! Aya Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di
Kuningan."
"Kacida bagjana sia datang ka dieu. Jung miang ka Galuh. Ondang Rahiang Sanjaya,
caritakeun, kudu mawa pisajieun, pakean lalaki sapangadeg, pangdiukan wulung,
munding sarakit (?), kawali beusi jeung beas sacukupna pikeun dahar."
Sadatang sia ka Galuh, carek Rahiyang Sanjaya: "Aya pibejaeun naon, sia
Pakembangan?"
"Kami teh dititah ku Dangiang Guru. Rahiang Sanjaya supaya mawa pisajieun
salengkepna. Aya Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan."
Rahiang Sanjaya indit.
Barang nepi ka hareupeun Dangiang Guru, carek Dangiang Guru: "Rahiang Sanjaya!
Lamun kaereh ku sia Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan,
aing bakal nurut kana sagala ucapan sia. Da beunang ku aing kabawah. Turut kana
ucapan aing. Da aing wenang ngelehkeun, hanteu kasoran. Da aing anak dewata."
Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan kabawah ku Batara
Dangiang Guru.
Sang Wulan dijenengkeun Guruhaji di Kajaron.
Sang Tumanggal dijieun Guruhaji Kalanggara di Balamoha.
Sang Pandawa di Kuningan jadi Guruhaji Lajuwatang.
Sang Puki jadi Guruhaji di Pagerwesi.
Sang Manisri dijadikeun Buyuthaden Rahesa di Puntang.
Buyuthaden Tujungputih di Kahuripan.
Buyuthaden Sumajajah di Pagajahan.
Buyuthaden Pasugihan di Batur.
Buyuthaden Darongdong di Balaraja.
Buyuthaden Pagergunung di Muntur.
Buyuthaden Muladarma di Parahiangan.
Buyuthaden Batuhiang di Kuningan.

XI

Rahiyang Sanjaya tumetep di Medang Ratu di Galuh, Sang Seuwakarma.
Ari adina Ratu Galuh, miara sabaraha hiji anak munding, nyieun padumukan pikeun
muja. Pindah-pindah tempat, sewabakti ka Batara Upati.
(Nelah) Rahiang Wereh, nu matak disebut kitu, waktu ditilar, adi lanceuk masih laleutik
keneh.
Teu tulus jadi ratu, lantaran (huntuna) rohang, mangkana katelah Rahiang
Sempakwaja. Rahiyang Kidul oge hanteu bisa jadi ratu sabab burut, nya jadi Wikuraja.
Sang Seuweukarma jadi Tohaan di Kuningan, lahirna di patapan, enya eta anak Rahiang
Sempakwaja.
Cek Rahiang Sanjaya: "Atuh masih pernah dulur aing, aki! Lamun kitu mah karah. Ulah
weleh mere bantuan ka aing, aki patih!"
Cek patih: "Muga-muga bae bisa deui urang ngamalkeun Sanghiang Darmasiksa. Ulah
teu digugu!"
Omongan para patih ka Rahiang Sanjaya: "Lamun haying unggul perang, geura
mangkat ti Galuh!" Prang ka Mananggul, eleh sang ratu Mananggul, Pu Anala
pamanggul juritna. Tuluy ka Kahuripan, diperangan, eleh Kahuripan, Rahiangtang
Wulukapeu taluk. Tuluy ka Kadul, diperangan eleh Rahiang Supena, taluk. Tuluy ka
Balitar, diperangan, eleh sang ratu Bima.
Ti dinya Rahiang Sanjaya nyabrang ka wilayah Malayu. Kemir diperangan, eleh
Rahiangtang Gana. Perang deui ka Keling, eleh Sang Sriwijaya. Perang ka Barus, eleh
ratu Jayadana. Perang ka Cina, eleh pati(h) Sarikaladarma.
Mulang Rahiang Sanjaya ka Galuh ti sabrang.
Tunda.

XII

Rahiangtang Kuku, Sang Seuweukarma di Arile, ngayakeun gempungan jeung para
patih; raja dicaritakeun hal pangajaran kaparamartaan.
"Nam urang rek marek, mawa kiriman ka Rahiang Sanjaya. Cokot emas sakati, lima
boehna, bawaeun urang ka Rahiang Sanjaya."
Dina danget eta, oge di Galuh ngayakeun kumpulan jeung para patih sakabeh.
"Nam urang nyieun labur di jalan gede pakeun ngabageakeun Sang Seuweukarma,
lantaran enya eta Rahiang Kuku."
"Barang datang ka sisimpangan ka Galuh jeung ka Galunggung, dipapag, dihormat
disayagian cai pikeun sibanyo."
Carek Rahiangtang Kuku: "Sang patih, bawa kami marek ka rahiang Sanjaya. Tah emas
sakati, lima boehna."
Carek sang patih: "Pun Tohaan! Boh emas boh beusi henteu diajenan ku Rahiang
Sanjaya. Nu diajenan teh ngan huripna jalma rea."
Rahiangtang Kuku jadi kabingungan. Terus mulang deui ka Arile. Carek Rahiangtang
Kuku: "Na naon pakeun urang bakti ka Rahiang Sanjaya?"

XIII

Sakitu mulyana, ieu tangtu Rahiang Sempakwaja. Ayeuna urang caritakeun
Rahiangtang Kuku, indit ka Arile, ngababakan di Kuningan.
Kasohor Rahiangtang Kuku, enya eta Sang Seuweukarma, ngadeg di Kuningan, anakna
Rahiang Sempakwaja. Indung bapana teh tempat panyaluuhan jalma rea.
Dayeuh, desa, pulo jeung sakurilingna: ti Keling bakti ka Rahiangtang Kuku;
Rahiangtang Luda di puntang; Rahiangtang Wulukapeu di Kahuripan; Rahiangtang
Supremana di Wiru; Rahiang Isora di Jawa sang ratu Bima di Bali (tar); di Kulon di
Tu(n)tang Sunda nyabrang ka wilayah Malayu. Rahiangtang Gana ratu di Kemir; Sang
Sriwijaya di Malayu, Sang Wisnujaya di Barus, Sang Bramasidi di Keling. Patihna Sang
Kandarma di Berawan; Sang Mawuluasu di Camara Upatah; Sang Pa(n)cadana ratu di
Cina.
Kabeh kabawah ku Rahiangtang Kuku. Kabeh ngaku ratu ka nu calik di Saunggalah.
Kabawah ku Sang Seuweukarma, sabab Ngukuhan ajaran Dangiang Kuning.
Di Galuh Rahiang Sanjaya nanyakeun: "Kumaha sang patih, pilukeun urang? Urang
hanetu dianggap kulawarga ku Rahiangtang Kuku. Sang patih! Jig indit sidikkeun ku
sorangan ka Kuningan. Bisa jadi urang dipajarkeun turut campur kana karia, padahal
urang henteu dibejaan, daek indit."
Sang patih nepi ka Kuningan, marek ka kadaton, terus ngabakti ka Rahiangtang Kuku.
Carek Rahiangtang Kuku: "Oh sang patih!Na naon bejana, mana dating ka dieu?"
Carek sang patih: "Kami dititah ku Rahiang Sanjaya. Diparentah nyidikkeun ka dieu.
Saha nu dijungjung, nu dijenengkeun ratu?"
Carek Rahiang Kuku: "Eh sang patih! Pantesna nya aing dijungjung dijenengkeun ratu
ku balarea. Ngan ti Rahiang Sanjaya mah henteu diharepkeun, lantaran kulawarga,
jeung moal ka kami mah, sabab dianggapna resep maehan kulakadang baraya. Malah
aing ditempatkeun ka Kuningan oge ku Rahiang Sempakwaja. Aing beunang Rahiang
Sempakwaja nempatkeun ka Kuningan ieu teh.
Mana aing teyu diganggu ku Rahiang Sanjaya."
Sang patih mulang ka Galuh.
Ditanya ku Rahiang Sanjaya: "Aki, kumaha carek Rahiangtang Kukuka urang?" "Pun,
Rahiang Sanjaya! Rahiangtang Kuku teh tapana kataekan. Ngagem Sanghiang Darma
kalawan Sanghiang Siksa. Tumut kana wisik Sang Rumuhun, jadi lulugu dina Hirup
kumbuh. Kukituna ku urang turut tanpa rasa gigis. Tembongkeun ku urang, da urang
jeung Tohaan teh saturunan, kabeh ge pada-pada turunan dewata."
Geuwat dicokot pustaka ku Rahiang Sanjaya. Barang nepi terus diungkab eta pustaka
teh. Unina kieu: "Ong awignam astu, kretajugi balam raja kretayem rawanem sang tata
dosamem, sewa ca kali cab pratesora sang aparanya retuning dewata, sang adata
adining ratu dewata sang sapta ratu na caturyuga. Sang Resi Guru tipekur di nu suni
ngayuga Sang Kandiawan jeung Sang Kandiawati. Nya puputra Rahiangtang Kulikuli,
Rahiangtang Surawulan, Rahiangtang Pelesawi, Rahiangtang Rawunglangit, bungsuna
Sang wretikandayun.
Sang Wretikandayun boga anak Rahiang Sempakwaja, Rahiang Kidul, Rahiangtang
Mandiminyak. Rahiangtang Mandiminyak boga anak Sang Sena, sang Sena boga anak
Rahiang Sanjaya."
Awewe geulis, Dobana mawa parahu, panjangna tujuh deupa, dibagian hareupna
dimomotan rupa-rupa pakarang.
"Urang ka nusa Demba!" Nya terus maranehanana balayar.
Kareungeu ku Sang Siwiragati. Dek ngamuatkeun Pwah Sangkari Pucanghaji
Tunjunghaji, ditumpakkeun dina gajah putih. Kakara ge leumpang sapanjang buruan.
Teu disangka-sangka Rahiangtang Kuku, Sang Seuweukarma cunduk ka nusa Demba,
tuluy ka kadaton, diuk tukangeun Sang Siwiragati.
Rahiangtang Kuku diudag ku gajah putih, lumpat ka buruan mawa Pwah Sangkari.
Henteu aya balik deui ka kadaton gajah putih teh, ngawula ka Rahiangtang Kuku.
Rahiangtang Kuku mulang deui ka Arile, dibawa dina gajah putih jeung Pwah Sangkari.
Pwah sangkari teh ngomong: "Naha henteu aya emas saguri, sapotong sapaha jeung
salengkepna papakean?"
Tuluy bae ka Galuh, ka Rahiang Sanjaya, henteu nyimpang ka Arile. Dibawa na gajah
putih ditutup ku lungsir putih tujuh kayu diwatangan mas mirah komara inten.
Barang dating ti nusa Demba, tuluy ka kadaton, sanggeus cunduk, Rahiangtang Kuku
nyarita ka Rahiang Sanjaya, naha resep mireungeuh gajah putih.
Tanyana: "Mana?"
Tuluy gajah putih teh ditumpakan, Pwah Sangkari disanghareupkeun ka Rahiyang
Sanjaya. Sanggeus nepi ka padaleman, henteu balik deui.
Carek Rahiang Sanjaya: "Na naon nu jadi karempan teh? Ayeuna aing hayang runtut
raut. Aing jeung bapa, Rahiang Kuku, Sang Seuweukarma. Ayeuna aing moal ngalawan.
Ayeuna urang tetepkeun: tanah bagaian Dangiang Guru di tengah, bagian Rangiang
Isora ti Wetan; jauhna nepi ka kalereun Paraga jeung Cilotiran, ti Kulon Tarum, ka
Kulon bagian Tohaan di Sunda."
Sanggeus Rahiangtang Kuku mulang ka Arile, sadatangna ka Arile, putus hancana di
dunya, hilang dina umur nu kacida kolotna.
Rahiang Sanjaya sasauran, ngawulang anakna, Rakean Panaraban, enya eta Rahiang
Tamperan: "Ulah arek nurutan agama aing, lantaran eta aing dipikasieun ku jalma rea."
Lilana jadi ratu salapan taun, diganti ku Rahiang Tamperan.

XV

Mimiti Sang Resi Guru ngawangun kuta pulo Jawa, kutana teh nyaeta Galunggung, ti
wetana Jawa.
Di wates Sunda, aya pandita sakti, dipateni tanpa dosa, ngaranna Bagawal Sajalajala.
Atma pandita teh nitis, nya jadi Sang Manarah. Anakna Rahiang Tamperan duaan jeung
dulurna Rahiang Banga.
Sang manarah males pati.
Rahiang Tamperan ditangkep ku anakna, ku Sang Manarah. Dipanjara beusi Rahiang
Tamperan teh.
Rahiang Banga datang bari ceurik, sarta mawa sangu kana panjara beusi tea.
Kanyahoan ku Sang Manarah, tuluy gelut jeung Rahiang Banga. Keuna beungeutna
Rahiang Banga ku Sang Manarah.
Ti dinya Sang Manarah ngadeg ratu di Jawa, mangrupa persembahan.
Nurutkeun carita Jawa, Rahiang Tamperan lilana ngadeg raja tujuh taun, lantaran
polahna resep ngarusak nu tapa, mana teu lana nyekel kakawasaanana oge.
Sang Manarah, lilana jadi ratu dalapanpuluh taun, lantaran tabeatna hade.
Sang Manisri lilana jadi ratu geneppuluh taun, lantaran pengkuh ngagem Sanghiang
Siksa.
Sang Tariwulan lawasna jadi ratu tujuh taun.
Sang Welengan lawasna jadi ratu tujuh taun.

XVI

Enya kieu, mimiti Sang Resi Guru boga anak Sang Haliwungan, nya eta Sang
Susuktunggal nu ngomean pakwan reujeung Sanghiang Haluwesi, nu nyaeuran
Sanghiang Rancamaya.
Tina Sanghiang Rancamaya aya nu kaluar.
"Ngaran kula Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, ratu hiang banaspati."
Sang Susuktunggal, enya eta nu nyieun pangcalikan Sriman Sriwacana Sri Baduga
Maharajadiraja, ratu pakwan Pajajaran. Nu kagungan kadaton Sri bima-untarayana
madura-suradipati, nya eta pakwan Sanghiang Sri Ratudewata.
Titinggal Sang Susuktunggal, anu diwariskeunana tanah suci, tanah hade, minangka
bukti raja utama.
Lilana ngadeg ratu saratus taun.

XVII

Rahiang Banga lawasna ngadeg ratu tujuh taun, lantaran polahna hanteu didasarkeun
kana adat kabiasaan anu bener.
Rakean di Medang lilana ngadeg ratu tujuh taun.
Rakeanta Diwus lilana jadi ratu opatlikur taun.
Rakeanta Wuwus lilana jadi ratu tujuhpuluh dua taun.
Nu hilang di Hujung Cariang lilana jadi ratu taun, kaopatna teu cucud, lantaran salah
lampah, daek ngala awewe ku awewe.
Rakean Gendang lilana jadi ratu tilulikur taun.
Dewa Sanghiang lilana jadi ratu tujuh taun.
Prebu Sanghiang lilana jadi ratu sawelas taun.
Prebu Datia Maharaja lilana jadi ratu tujuh taun.
Nu hilang di winduraja lilana jadi ratu tilulikur taun.
Nu hilang di Kreta lawasna jadi ratu salapanpuluhdua taun, lantaran ngukuhan kana
lampah anu hade, ngadatangkeun gemah ripah.
Diganti deui ku nu hilang di Winduraja, henteu lila ngadegna ratu ngan dalapanwelas
taun.
Diganti ku Sang Rakean Darmasiksa, titisan Sanghiang Wisnu, nya eta nu ngawangun
sanghiang binajapanti.
Nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan
tina parahiangan.
"Tina naon berkahna?" Ti sang wiku nu mibanda Sunda pituin, mituhu Sanghiang
Darma, ngamalkeun Sanghiang Siksa.
Boga anak nu hilang di Taman, lawasna jadi ratu genep taun.
Boga anak deui nu hilang di Tanjung, lilana jadi ratu dalapan taun.
Boga anak nu hilang di Kikis, lilana jadi ratu dualikur taun.
Nu hilang di Kiding, lilana jadi
ratu tujuh taun.
Boga anak Aki Kolot, lilana jadi ratu sapuluh taun.

XVIII

Boga anak, Prebu Maharaja, lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran keuna ku musibat,
Kabawa cilaka ku anakna, ngaran Tohaan, menta gede pameulina.
Urang rea asalna indit ka Jawa, da embung boga salaki di Sunda. Heug wae perang di
Majapahit.
Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu Niskalawastu kancana, nu tilem
di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade
ngajalankeun agama, nagara gemah ripah.
Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu
eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di Gegeromas. Batara
Guru di Jampang.
Sakitu nu diturut ku nu ngereh lemah cai.
Batara guru di Jampang teh, nya eta nyieun makuta Sanghiang Pake, waktu nu boga hak
diangkat jadi ratu.
Beunang kuru cileuh kentel peujit ngabakti ka dewata. Nu dituladna oge makuta
anggoan Sahiang Indra. Sakitu, sugan aya nu dek nurutan. Enya eta lampah nu hilang
ka Nusalarang, daek eleh ku satmata. Mana dina jaman eta mah daek eleh ku nu
ngasuh.
Mana sesepuh kampung ngeunah dahar, sang resi tengtrem dina ngajalankeun
palaturan karesianana ngamalkeun purbatisti purbajati 35). Dukun-dukun kalawan
tengtrem ngayakeun perjangjian-perjangjian make aturan anu patali jeung kahirupan,
ngabagi-bagi leuweung jeung sakurilingna, ku nu leutik boh kunu ngede moal aya
karewelanana, para bajo ngarasa aman lalayaran nurutkeun palaturan ratu.
Cai, cahaya, angin, langit, taneuh ngarasa senang aya dina genggaman pangayom jagat.
Ngukuhan angger-angger raja 36), ngadeg di sanghiang linggawesi, puasa, muja taya
wates wangenna.
Sang Wiku kalawan ajen ngajalankeun angger-angger dewa, ngamalkeun sanghiang
Watangageung. Ku lantaran kayakinan ngecagkeun kalungguhanana teh.
Diganti ku Tohaan Galuh, enya eta nu hilang di Gunung tiga. Lawasna jadi ratu tujuh
taun, lantaran salah tindak bogoh ka awewe larangan ti kaluaran.

XIX

Diganti ku Prebu, putra raja pituin, nya eta Sang Ratu Rajadewata, nu hilang di
Rancamaya, lilana jadi ratu tilupuluhsalapan taun.
Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana
henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah
Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.
Teu ngarasa aman soteh mun lakirabi dikalangan jalma rea, di lantarankeun ku
ngalanggar Sanghiang Siksa.

XX

Diganti enya eta ku Prebu Surawisesa, anu hilang di Padaren, Ratu gagah perkosa, teguh
jeung gede wawanen.
Perang limawelas kali henteu eleh. Dina ngajalankeun peperangan teh kakuatan
baladna aya sarewu jiwa.
Perang ka Kalapa jeung Aria Burah. Perang ka Tanjung. Perang ka Ancol kiyi. Perang ka
Wahanten Girang. Perang ka Simpang. Perang ka Gunungbatu. Perang ka Saungagung.
Perang ka Rumbut. Perang ka Gunungbanjar. Perang ka Padang. Perang ka Pagoakan.
Perang ka Muntur. Perang ka Hanum. Perang ka Pagerwesi. Perang ka
Madangkahiangan.
Ti dinya mulang ka pakwan deui. Hanteu naunan deui. Ratu tilar dunya. Lawasna jadi
ratu opatwelas taun.

XXI

Prabu Ratudeawata, enya eta nu hilang kasawah-tampian-dalem.
Ngajalankeun kahirupan saperti rajaresi. Tanpa Pwah Susu.
Disunatan, maksudna supaya bersih, suci tina kokotor ari dikumbah, disunat ku
tukangna, pituin Sunda eta teh.
Datang huru-hara, musuh loba teu kanyahoan ti mana asalna. Perang di buruan ageung.
Tohaan Sarendet jeung Tohaan Ratu Sanghiang kasambut.
Aya pandita sakti dianiaya, pandita di sumedang. Sang pandita di Ciranjang dipaehan
tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. Sang pandita di Jayagiri digubruskeun ka sagara.
Aya pandita sakti taya dosana. Munding Rahiang ngaranna, digubruskeun ka sagara,
henteu paeh, hirup keneh, ngilang tanpa ninggalkeun ragana di dunya. Katelah
ngaranna Hiang Kalinganja. Ku lantaran eta masing iatna anu masih tinggal di belakang
kali, ulah arek hirup api-api pupuasaan. Tah kitu kaayaan jaman susah teh.
Prebu ratudewata, lilana jadi dalapan taun, kasalapanna tilar dunya.

XXII

Diganti ku Sang Ratusakti Sang Mangabatan di Tasik. Enya eta anu hilang ka
Pengpelengan. Lilana jadi ratu dalapan taun, lantaran ratu lampahna cilaka ku awewe.
Larangan ti kaluaran jeung ku indungtere. Mindeng maehan jalma tanpa dosa,
ngarampas tanpa rasrasan, hanteu hormat ka kolot, ngahina pandita.
Ulah diturut ku nu pandeuri, lampah ratu kitu mah. Tah kitu riwayat sang ratu teh.


XXIII

Tohaan di Majaya eleh perang, lantaran kitu hanteu cicing di kadaton. Manehna nu
nyipta sanghiang Panji, ngendahan kadaton, dibalaj diatur mirupa taman mihapitkeun
panto larangan. Nu ngawangun bale bobot tujuhwelas jajar, diukir diparada
diwujudkeun rupa-rupa carita.

XXIV

Dina jaman jalma sajagat hanteu ngalaman kajahatan disebutna jaman kreta.
Henteu aya nu ngajadikeun ancurna jagat.
Dina jaman dopara, jaman parunggu, saterusna diganti ka jaman kali, jaman beusi,
Sang Nilakendra, dilantarankeun lila teuing dina kasenangan, ngumbar hawa napsu.
Bogana anak, kana hatena geus kaancikan ku rekadaya, nya nurunkeun pertapa, incu
pateterean.
Inuman keras dianggapna saperti cai wujudna godaan napsu. Jelema nu ngahuma
rewog baranghakan, teu gumbira lamun teu pepelakan. Lila ratu ngalajur napsu dina
barang dahar, teu nurutkeun adat kabiasaan, enggoning ngumbar kasenangan borakborak
da nganggap saluyu jeung kabeungharanana.
Lilana jadi ratu genepwelas taun.

XXV

Diganti ku Nusia Mulya. Lilana jadi ratu duawelas (!) taun. Mimiti datangna perobahan.
Buana lemes nyusup ka nu kasar, timbul karusakan ti Islam.
Perang ka Rajagaluh, eleh Rajagaluh. Perang ka Kalapa eleh Kalapa. Perang ka Pakwan,
perang ka Galuh, perang ka Datar. Perang ka Ma(n)diri, perang ka Patege, perang ka
Jawakapala, eleh Jawakapala. Perang ka Gegelang. Meuntas perang ka Salajo; kabeh
eleh ku urang Islam.
Kitu nu matak kabawah ka Demak jeung ti Cirebon.

Dicutat tina
Atja (1968) Carita Parahiyangan: Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda. Bandung:
Jajasan Kebudajaan Nusalarang

Download Teks Carita Parahyangan
Saterasna...
SUDAH sejak tahun 1950-an orang Sunda gelisah dengan sejarahnya. Lebih-lebih generasi sekarang, mereka selalu mempertanyakan, betulkah sejarah Sunda seperti yang diceritakan orang-orang tua mereka? Katanya, kekuasaannya membentang sejak Kali Cipamali di timur terus ke barat pada daerah yang disebut sekarang Jawa Barat dengan Prabu Siliwangi sebagai salah seorang rajanya yang bijaksana. Betulkah?

Sejarah Sunda memang tidak banyak berbicara dalam percaturan sejarah nasional. “Yang diajarkan di sekolah, paling hanya tiga kalimat,” kata Dr Edi Sukardi Ekadjati, peneliti, sejarawan dan Kepala Museum Asia Afrika di Bandung. Isinya singkat saja hanya mengungkap tentang Kerajaan Sunda dengan Raja Sri Baduga di daerah
yang sekarang disebut Jawa Barat, lalu runtuh.

Padahal, kerajaan dengan corak animistis dan hinduistis ini sudah berdiri sejak abad ke-8 Masehi dan berakhir eksistensinya menjelang abad ke-16 Masehi. Kisah-kisahnya yang begitu panjang, lebih banyak diketahui melalui cerita lisan sehingga sulit
ditelusuri jejak sejarahnya. Tetapi ini tidak berarti, nenek moyang orang Sunda di masa lalu tidak meninggalkan sesuatu yang bisa dilacak oleh anak cucunya karena kecakapan tulis-menulis di wilayah Sunda sudah diketahui sejak abad ke-5 Masehi. Ini bisa dibuktikan dengan prasasti-prasasti di masa itu.

Memang peninggalan karya tulis berupa naskah di masa itu hingga kini belum dijumpai. Tetapi setelah itu ditemukan naskah kuno dalam bahasa dan huruf Sunda Kuno, yakni naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian yang selesai disusun tahun 1518 M dan naskah Carita Bujangga Manik yang dibuat akhir abad ke-15 atau awal
abad ke-16. Suhamir, arsitek yang menaruh minat besar dalam sejarah Sunda menjuluki naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian sebagai “Ensiklopedi Sunda”.

Naskah-naskah lainnya adalah Cariosan Prabu Siliwangi (abad ke-17 atau awal abad ke-18), Ratu Pakuan, Wawacan Sajarah Galuh, Babad Pakuan, Carita Waruga Guru, Babad Siliwangi dan lainnya.

NASKAH Sanghyang Siksa Kana Ng Karesian dan Carita Bujangga Manik disusun pada zaman Kerajaan Sunda-Pajajaran masih ada dan berkembang. Karena itu, dilihat dari kacamata sejarah, kedua naskah tersebut bisa jadi sumber primer. Sedangkan naskah-naskah lainnya yang disusun setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh termasuk sumber sekunder. Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh pada tahun 1579.

Kedua naskah tersebut ditulis dengan bahasa dan huruf Sunda Kuno. Sedangkan naskah lainnya ada yang ditulis dengan bahasa dan huruf Jawa, bahasa dan huruf Arab, bahasa Jawa-Sunda atau huruf Jawa tapi bahasanya bahasa Sunda seperti naskah Carita Waruga Guru dan bahasa Melayu dan huruf Latin. Sampai tahun 1980-an, pembuatan naskah Sunda masih terus berlangsung meskipun dalam bentuk penyalinan.

Naskah Siksa Kanda Ng Karesian dan Carita Bujangga Manik ditulis di atas daun lontar dan daun palem. Naskah-naskah lainnya ada pula yang ditulis di daun nipah, daun enau atau daun kelapa.

Cara menulisnya dikerat/digores dengan menggunakan alat yang disebut peso pagot, sejenis pisau yang ujungnya runcing. Sedangkan naskah-naskah yang lebih muda menggunakan kertas sebagai pengganti daun dan ditulis dengan menggunakan tinta.

Sebagian naskah-naskah itu ada yang tersimpan di museum baik di dalam maupun di luar negeri. Tetapi sebagian besar lainnya disimpan di rumah penduduk atau tempat-tempat tertentu yang dikeramatkan karena naskah dianggap sebagai barang sakral.
Pemegangnya juga orang tertentu saja.

Karena cara penyimpanan yang tidak memenuhi syarat, adakalanya naskah rusak berat sehingga tidak bisa terbaca lagi. Naskah di Lengkong, Kuningan misalnya, tahun 1982 masih bisa dibaca. “Tetapi ketika saya datang lagi ke sana pada tahun 1987,
naskah sudah tidak bisa direkontruksi lagi,” keluh Ekadjati.

Tetapi ada juga naskah-naskah yang sudah tidak disimpan dengan baik karena ahli warisnya merasa tidak mempunyai kepentingan lagi. Di Banjaran, sebuah daerah yang letaknya di Bandung Selatan, naskah yang mereka miliki disimpan di kandang ayam karena rumah sedang dibongkar. Atau ada pula yang menyimpannya di atas langit-
langit dapur, sehingga warnanya menjadi kuning kehitam-hitaman.

Dengan cara penyimpanan seperti itu, apalagi berasal dari bahan-bahan yang mudah lapuk, dalam beberapa tahun saja tidak mustahil naskah-naskah tersebut tidak akan berbekas lagi, sebelum diteliti. Setelah terlambat, baru kemudian kita menyadari telah
kehilangan sejarah atau kekayaan budaya.

Sebelum pengalaman pahit ini terjadi, Edi S Ekadjati dengan bantuan Toyota Foundation kemudian mengabadikannya dalam bentuk mikro film. Sekarang, sekitar 2000 naskah dari mikro film tersebut dimasukkan ke komputer sehingga suatu saat, bisa dibuat katalog yang lebih lengkap. Ini melengkapi katalog naskah Sunda yang sudah ada sekarang, yang memuat 1904 naskah.

DARI sejumlah naskah tersebut, 95 naskah ditulis dalam huruf Sunda Kuno, 438 ditulis dalam huruf Sunda-Jawa, 1.060 ditulis dengan huruf Arab (Pegon) dan 311 naskah lainnya ditulis dengan huruf Latin. Selain itu masih ada 144 naskah yang menggunakan dua macam aksara atau lebih, yakni Sunda-Jawa, Arab dan Latin.

Dilihat dari jenis karangannya, naskah sejarah hanyalah sekitar 9 persen dan naskah sastra sejarah 12 persen. Sebagian besar lainnya, 25 persen berupa naskah sastra, dan naskah agama 15 persen. Sayang, walaupun jumlahnya banyak, baru sedikit sekali yang diteliti. Eddi S. Ekadjati memperkirakan baru sekitar 100-125 judul saja yang diteliti. Ini berarti, tantangan untuk para peneliti dalam meneliti sejarah Sunda masih sangat besar.

Penelitian tersebut, menurut Edi S. Ekajati, idealnya dilakukan dulu secara filologis karena ilmu yang menggarap naskah itu ialah filologi. Baru kemudian hasil suntingan filolog tersebut dijadikan obyek atau bahan studi ilmu-ilmu lain sesuai dengan jenis isi naskahnya. Sulitnya, sangat sedikit filolog yang tertarik terhadap naskah Sunda.

Belum lagi, lebih sedikit lagi yang bisa membaca huruf Sunda Kuno — itupun sebagian diantaranya berasal dari disiplin lain. Atja dan Saleh Danasasmita misalnya, keduanya sudah meninggal. Sedangkan lainnya Ayatrohaedi dan Hasan Djafar (arkeologi) lalu
Kalsum dan Undang A Darsa. Edi S Ekadjati sebenarnya berlatar belakang sejarah.

Tetapi karena minatnya yang besar terhadap sejarah Sunda, akhirnya mengharuskan ia mendalami filologi, sehingga dia acapkali dijuluki “berada di dua perahu”. Dia mengakui, karena terbatasnya filolog yang berminat, maka jika seseorang ingin
mengetahui sejarah Sunda maka ia harus berada “di dua perahu”.

SEJARAH Sunda sangat boleh jadi berbeda dibanding sejarah etnis lain di Indonesia karena daerah ini tidak banyak mewariskan peninggalan berupa prasasti atau candi, tetapi lebih banyak berupa naskah yang kini tersimpan di museum atau tempat-tempat lainnya. Di Perpustakaan Nasional saja misalnya, terdapat 89 naskah Sunda Kuno sedangkan yang sudah dikerjakan barulah tujuh naskah.

Tetapi dari sedikit naskah itu, menurut Edi S. Ekadjati, ternyata sudah memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap sejarah Sunda. Baik mengenai daftar raja yang memerintah dan masa pemerintahannya serta peristiwa-peristiwa sekitar yang terjadi pada saat itu, sehingga walaupun belum secara lengkap sudah bisa disusun raja-raja Sunda yang memerintah selama kurang lebih 800 tahun.

Yakni, sejak Sanjaya yang memerintah pada abad ke-8 sampai Raja Sunda terakhir pada tahun 1579. Bahkan dengan naskah Siksa Kanda Ng Karesian yang ditulis pada masa Sri Baduga Maharaja, diketahui beberapa aspek kebudayaan Sunda saat itu. Sri Baduga Maharaja, dalam cerita rakyat diidentikkan dengan Prabu Siliwangi.

Jalan untuk menyingkap tabir sejarah Sunda masih panjang. Di Perpustakaan Nasional saja, masih 82 naskah lagi yang belum digarap. Walau demikian, Edi S Ekadjati optimis, suatu saat sejarah Sunda bisa disusun lebih lengkap dan jelas. Salah satu harapannya diletakkan pada jerih payah Ali Sastramidjaja atau Abah Ali, seorang peminat sejarah Sunda, yang kini sedang menggarap naskah Ciburuy bersama teman-temannya.

Download Naskah Sanghyang Siksa kandang Karesian
Saterasna...
PATALINA BASA JEUNG MASARAKATNA


DADANG NURJAMAN
0907667


Abstrak

Basa téh disawangna teu saukur salaku sistem tanda, tapi disawang ogé salaku sistem sosial, sistem komunikasi, jeung babagian tina hiji kabudayaan nu tangtu. Ciri umum unggal basa téh ayana pamaké atawa komunikan. Ieu hal ngabalukarkeun basa mibanda sifat arbitrér jeung konvénsional. Unggal masarakat téh diwangun ku individu jeung kelompok nu ngayakeun kagiatan interaksi sosial sarta mibanda pamahaman anu béda-béda kana rupaning pasualan, kaasup dina pasualan basa. Pamahaman anu béda-béda unggal masarakat kana basa téh ngagelarkeun konsép variasi basa. Tina rupaning variasi basa, unggal basa mibanda variasi-variasi salaku hasil tina ayana patalimarga antara individu, kelompok, jeung sikep masarakat kana basana. Tina éta hal, baris kagambar kumaha patalina basa jeung masarakatna ditilik tina konsép indikator sosial nu ngawengku kelas sosial, kelompok étnis, jeung bangsa.


A.BUBUKA
Sosiolinguistik mangrupa cabang élmu linguistik nu ngulik patalina basa jeung masarakatna ngaliwatan ulikan kontékstual perkara variasi basa nu digunakeun ku masarakat dina konsép komunikasi alamiah. Gelarna sosiolinguistik téh dimimitian ku padungdengan sabadana aya gerakan linguistik transformasional nu dipokalan ku Chomsky. Nurutkeun aliran transformasional, réalitas sosial anu kawilang hétérogén di masarakat dina wangun status sosial nu béda-béda, umur, jénder, kasang tukang étnisitas, atikan, jeung sajaba ti éta, mangrupa pasualan anu taya pangaruhna jeung carana éta masarakat nangtukeun pilihan-pilihan ngagunakeun basa. Pikeun sabagian aliran linguistik lianna, nu béh dieu nganénéhnakeun salaku kaum sosiolinguis, sawangan kaum transformasional Chomsky téh tangtu waé matak teu nyugemakeun. Ari sababna, variasi basa anu diulik téh tétéla mangrupa pasualan poko anu kacida dipangaruhan jeung mangaruhan bédana aspék sosiokultural unggal masarakat. Napak dina éta paradigma, ka béhdieunakeun Sosiolinguistik gelar jadi ulikan basa nu nyawang yén basa teu bisa dijéntrékeun kalawan nyugemakeun saupama teu ngalibetkeun aspék-aspék sosial nu jadi ciri unggal masarakat nu kamekaranana baris mangaruhan pilihan éta masarakat dina ngagunakeun basa.

Dina jihat sosiolinguistik, basa téh disawangna teu saukur salaku sistem tanda, tapi disawang ogé salaku sistem sosial, sistem komunikasi, jeung babagian tina hiji kabudayaan nu tangtu. Ku kituna, nyawang basa ngaliwatan ulikan sosiolinguistik mah salawasna baris masualkeun kumaha éta basa digunakeun di masarakat nu dipangaruhan ku rupaning pasualan. Di antarana nya éta 1) faktor sosial, nu ngawengku status sosial, kelas sosial, jénder, jeung sajabana; sarta 2) faktor situasional, nu ngawengku saha nu nyarita, kumaha wangun basana, ka saha nyaritana, iraha, dimana, jeung ngeunaan pasualan naon.

Ferdinand De Saussure nandeskeun yén basa mangrupa salasahiji lembaga kamasarakatan anu sarua jeung lembaga kamasarakatana lianna kayaning pertikahan atawa hukum waris, jeung sajaba ti éta. Éta hal némbongkeun pentingna panitén kana diménsi sosial basa, sok sanajan nurutkeun Hudson (1962: 2) mah kasadaran kana éta hal téh karak témbong dina tengahing abad ka-20. Dina éta mangsa, nurutkeun Labov jeung Halliday mah sajumlahing ahli basa mimiti sadar yén ulikan basa anu teu dipakaitkeun jeung masarakatna baris ngaleungitkeun sababaraha aspék anu kawilang penting, béh dituna bisa ngaheureutan sawangan kana disiplin basana sorangan. Alatanana mah pangpangna yén omongan téh miboga fungsi sosial, boh salaku pakakas komunikasi boh minangka salasahiji cara nandeskeun kelompok sosial. Kamungkinan kapaluruhna pertélaan sosial pikeun struktur nu digunakeun dina hiji basa, baris leungit saupama ulikan basa téh teu dipakaitkeun jeung masarakat nu ngagunakeun éta basa.

Salian ti éta, kasadaran kana hakékat digunakeunana basa salaku tanda-tanda nu salawasna barobah ogé mimiti mekar. Pamakéan basa téh teu ukur mangrupa kumaha cara tutur saur nu digunakeun ku sakabéh jalma atawa pikeun sakabéh situasi dina wangun nu sarua, tapi sabalikna ti éta, nyatana pamakéan basa téh béda-béda gumantung kana sababaraha faktor, kayaning faktor sosial, budaya, psikologis, jeung pragmatis.

B.PATALINA BASA JEUNG MASARAKATNA
Hakékatna basa téh mangrupa lambang sora anu dihasilkeun ku pakakas ucap manusa kalawan puguh éntép seureuhna tur ragem di antara anggota masarakatna pikeun tujuan komunikasi. Basa salawasna diwangun ku dua adegan, nya éta adegan cangkang (lahir) jeung adegan eusi (batin). Nurutkeun Sudaryat (1987:9), adegan cangkangna basa téh mangrupa sistem sora manusa anu dihasilkeun ku pakakas ucapna, sedengkeun adegan eusi mah mangrupa eusi nu dipimaksud ku sistem sora atawa mangrupa kedalan rasa, pikiran, jeung kahayang nu aya dina sistem sora waktu campur gaul.

Sok sanajan kitu, fungsi basa téh tétéla lain saukur salaku pakakas komunikasi. Pikeun Sosiolinguistik, konsép basa anu mangrupa pakakas nu fungsina pikeun nepikeun pikiran téh dianggap heureut. Nurutkeun Chaer (2004:15), pikeun Sosiolinguistik mah fungsi basa anu jadi pasualan téh bakal béda-béda nalika ditilik tina puseur sawangan anu béda dumasar kana lima wengkuan, nya éta:
1)Panyatur
Ditilik tina wengkuan panyaturna, basa téh mibanda fungsi pribadi atawa personal. Hartina, panyatur basa dina nepikeun sikepna perkara hal anu diucapkeunana téh teu saukur nepikeun sikep, tapi ogé némbongkeun éta sikep (misalna ambek, sedih, atawa gumbira)
2)Pamiarsa
Ditilik tina wengkuan pamiarsana basa téh mibanda fungsi diréktif, nya éta ngatur paripolah éta pamiarsa nepi ka bisa ngalakukeun hal anu luyu jeung kahayang si panyatur.
3 Jejer
Ditilik tina wengkuan jejerma basa téh mibanda fungsi referensial, nya éta salaku pakakas pikeun nyaritakeun jejer (obyék) atawa kajadian anu aya disabudeureun panyaturna atawa dina budaya sacara umum.
4)Kode
Ditilik tina wengkuan kodena basa téh mibanda fungsi métalingual atawa metalinguistik, nya éta basa digunakeun pikeun nyaritakeun éta basa sorangan, misalna nalika dina pangajaran struktur atawa kaédah-kaédah basa nu ditétélakeunana ngagunakeun basa.
5)Amanat
Ditilik tina wengkuan amanatna basa téh mibanda fungsi imajinatif, nya éta basa téh bisa digunakeun pikeun nepikeun kamandang, pipikiran, jeung parasaan, boh nu wujudna nyata boh nu ngan saukur implengan.

Ciri umum unggal basa téh ayana pamaké atawa komunikan. Ieu hal ngabalukarkeun basa mibanda sifat arbitrér jeung konvénsional. Unggal masarakat téh diwangun ku individu jeung kelompok nu ngayakeun kagiatan interaksi sosial sarta mibanda pamahaman anu béda-béda kana rupaning pasualan, kaasup dina pasualan basa. Pamahaman anu béda-béda unggal masarakat kana basa téh ngagelarkeun konsép variasi basa.

Kartomihardjo (1988:82) nétélakeun yén variasi basa mangrupa rupaning makéna basa balukar ayana kelas sosial ékonomi, kasang tukang atikan, profési, idéologi, kahayang, jeung agama. Napak kana pamadegan Halliday, nurutkeun Chaér jeung Agustina (2004:61-62), variasi basa téh bisa diklasifikasikeun dina opat wengkuan, nya éta:
1)wengkuan Panyatur
Variasi basa dumasar kana wengkuan panyatur ngawujud dina variasi basa anu sipatna individual dumasar kana warna sora, pilihan kecap, gaya basa, susunan kalimah, jsté. nu mangrupa sipat-sipat has unggal jalma (idiolék ) jeung variasi basa tina kelompok individu nu réana rélatif nu nyicingan hiji tempat (dialék). Salian ti éta, aya ogé kronolék atawa dialék témporal, nya éta variasi basa nu digunakeun ku kelompok sosial dina wengkuan waktu anu tangtu; jeung sosiolék atawa dialék sosial, nya éta variasi basa anu patali jeung status, golongan jeung kelas sosial panyaturna.
2)wengkuan Pamakéan
Variasi basa patali jeung wengkuan pamakéan disebutna fungsiolék atawa régister, biasana digunakeun pikeun kaperluan widang-widang anu tangtu, kayaning widang sastra, jurnalistik, tatanén, militér, atikan, jsté.
3)wengkuan Kaformalan
Nurutkeun Martin Joss, variasi basa dumasar kana wengkuan kaformalan téh ngawengku gaya (ragam) beku, resmi, usaha, loma, jeung akrab.
-Ragam beku (frozen) mangrupa variasi basa anu pangformalna, biasana digunakeun dina kagaiatn-kagiatan upacara resmi jeung hidmat, kayaning hutbah, undang-undang, akte notaris, sumpah, jsté.
-Ragam resmi (formal) mangrupa variasi basa nu biasana digunakeun misalna dina pidato kanagaraan, rapat dinas, buku atikan, jsté.
-Ragam usaha (consultative) mangrupa variasi basa nu digunakeun dina gunem catur biasa di sakola, rapat-rapat, atawa nu orientasina kana hasil atawa produksi. Posisina bisa disebutkeun aya di antara ragam formal jeung ragam informal (rinéh).
-Ragam loma (informal) mangrupa variasi basa anu digunakeun dina situasi teu resmi, kayaning gunem catur jeung kulawarga atawa babaturan dina waktu-waktu istirahat, olahraga, pakansi, jsté. Biasana sok direumbeuy ku wangun-wangun alégro (kekecapan nu dipondokken).
-Ragam akrab (intimaté) mangrupa variasi basa anu biasa digunakeun ku panyatur jeung pamiarsa nu hubungana geus akrab, kayaning papada anggota kulawarga atawa sobat. Biasana sok ngagunakeun kekecapan atawa basa nu teu lengkep jeung artikulasi nu teu pati écés.
4)wengkuan Sarana
Variasi basa patali jeung wengkuan sarana ditilik tina pakakas anu digunakeun, ngawengku ragam lisan nu ditepikeun kalawan dibantuan ku unsur-unsur supraségméntal jeung ragam tulisan nu ditepikeun ngaliwatan simbul jeung tanda baca.
Tina rupaning variasi basa sakumaha kasebut di luhur, écés yén unggal basa téh geus karuhan mibanda variasi-variasi salaku hasil tina ayana patalimarga antara individu, kelompok, jeung sikep masarakat kana basana (il. Aslinda, 2007:97). Tina éta hal, baris kagambar kumaha patalina basa jeung masarakatna ditilik tina konsép indikator sosial sakumaha ieu di handap.

1.Basa jeung Kelas Sosial
Unggal masarakat miboga cara pikeun ngahargaan hal-hal anu tangtu dina éta masarakat. Harga anu luhur pikeun hiji hal baris nempatkeun éta hal dina kalungguhan anu luhur tibatan hal-hal lianna. Hal sarupa kitu téh baris ngagelarkeun konsép stratifikasi sosial, nya éta ngabédakeun posisi hiji jalma atawa kelompok dumasar kana kalungguhan (status) jeung peran (role) sacara vértikal.

Stratifikasi sosial mangrupa hal anu universal dina hiji masarakat anu kawangun ngaliwatan dua cara. Kahiji, ngaliwatan prosés alamiah nu lumangsung kitu baé dina prosés kamekaran éta masarakat. Biasana didadasaran ku kapinteran, umur (sénioritas), katurunan, jeung harta banda dina wates-wates anu tangtu. Kadua, ngahaja diwangun pikeun ngudag tujuan anu tangtu sacara babarengan. Biasana patali jeung babagi kakawasaan jeung wewenang resmi dina organissasi-organisasi formal, kayaning pamaréntahan, pausahaan, partéy politik, katentaraan, atawa paguyuban (il. Soekanto, 1990:253-256).

Prosés stratifikasi sosial téh ngahasilkeun panta-panta (kelas) sosial anu leuwih luhur jeung nu leuwih handap. Sacara tradisional, aya sababaraha kritéria kelas sosial anu maparinan fasilitas-fasilitas hirup anu tangtu (life-chances) pikeun anggotana, jeung mangaruhan paripolah hirup séwang-séwang wargana (life-style), nya éta:
1)jumlah anggotana;
2)kabudayaan anu sarua, anu nangtukeun hak jeung kawajiban wargana;
3)tanda/lambang-lambang anu jadi ciri mandiri;
4)wates-wates anu atra (pikeun kelompokna, pikeun kelompok lianna); jeung
5)antagonisme anu tangtu.

Kawangunna kelas sosial ngaliwatan konsép stratifikasi sosial téh di antarana didadasaran ku unsur-unsur ekonomis, politis, jeung pangaweruh. Nurutkrun Soekanto (1990:263) ukuran atawa kritéria anu digunakeunana nya éta:
1)Ukuran harta banda; Singsaha anu mibanda harta pangréana, nempatan kelas pangluhurna.
2)Ukuran kakawasaan; Singsaha anu mibanda kakawasaan atawa wewenang anu luhur, nempatan kelas anu luhur.
3)Ukuran kahormatan; Leupas tina ukuran-ukuran harta banda jeung kakawasaan, tapi leuwih nyoko kana konsép saha anu leuwih dipikaajrih mangka éta anu kaasup kana kelas anu luhur.
4)Ukuran élmu pangaweruh; Biasana dipaké ku masarakat anu ngahargaan kana élmu pangaweruh, tapi béh dieu rada géséh sabab leuwih nyoko kana gelar kasarjanaan.

Di sakuliah dunya, kaitung réa conto-conto kelas sosial. Di Inggris, aya istilah-istilah commoners pikeun masarakat biasa, jeung nobility pikeun masarakat atawa kelompok bangsawan. Sabagian gedé masarakat Inggris sadar yén luyu jeung adat-istiadat, jalma-jalma anu aya dina kelompok nobility téh kelasna aya disaluhureun kelompok commoners. Sistem kasta di India (varna yati) samalah geus aya sababaraha abad ti béh ditu mula. Nurutkeun kitab Rig-Veda jeung kitab-kitab Brahmana (Soekanto, 1990:257), masarakat India ngabagi opat varna yati anu disusun ti luhur ka handap, nya éta Brahmana pikeun pendéta, Ksatria pikeun bangsawan jeung tentara, Vaisya pikeun padagang, jeung Sudra pikeun rahayat biasa. Sedengkeun rahayat anu teu asup atawa teu mibanda kasta mangrupa golongan Paria.

Sistem opat kasta kawas di India digunakeun ogé ku masarakat Bali. Tilu kasta nu ngawengku Brahmana, Satria, jeung Vesia disebutna triwangsa, sedengkeun kasta Sudra disebut jaba kalawan jumlah warga pangréana. Opat kasta kasebut téh dibagi-bagi deui kana kelas-kelas husus, biasana atra katémbong dina ngaran nu mangrupa gelar. Gelar Ida Bagus pikeun kasta Brahmana, gelar-gelar Tjokorda, Dewa, jeung Ngahan, pikeun kasta Satria, gelar-gelar Bagus jeung I Gusti pikeun kasta Vaisya, sedengkeun pikeun kasta Sudra digunakeun gelar-gelar Pande, Kbon, atawa Pasek.

Conto lianna nya éta masarakat Atoni Pah Mete di Timor. Di éta wewengkon, kaum bangsawan disebutna usif, pikeun ngabédakeun jeung kaum masarakat biasa anu disebut tog. Kalungguhan usif téh tangtu baé leuwih luhur tibatan tog, ditegeskeun ngaliwatan sistem hak jeung kawajiban anu tangtu.

Jaman pangaruh agama Hindu, masarakat Sunda ngalaman mibanda panta-panta masarakat. Dina Naskah Snghyang Siksa Kanda Ng Karesian, disebutkeun aya pendeta, wiku pa.ra.loka (nu tapa), biarawan (tetega), ebon (biarawati), pelayan biara (ameng), cantrik (wasi), tiagi (nu tapa di jero leuweung), walka (nu tapa maké papakéan kulit), resi, juru mantra, juru puja jeung disi (ahli ramal jeung obat-obatan). Kalungguhan samodél kitu téh kasebut luhur ajénna pikeun masarakat sarta dianggap suci, nepi ka aya papagon pikeun sakumna jalma réa pikeun teu nyarandé dina tihang urut jalma-jalma suci nyarandé. Handapeun jalma-jalma suci, aya golongan seniman nu mibanda kalungguhan penting pikeun masarakat ngaliwatan karya-karyana, boh seni rupa, téater, atawa seni sastra.

Béh dieuna, di masarakat Sunda ogé kungsi aya babagian kelas sosial pangaruh ti Jawa nu ngawengku kaum ménak jeung kaum abangan. Di masyarakat Jawa, aya golongan nu disebut Priyayi jeung Abangan. Golongan Priyayi téh biasana ngawengku jalma-jalma atawa kelompok karaton, sedengkeun golongan Abangan mah mangrupa rahayat nu agamana Islam tapi teu pati nurut kana parentah-parentah para Kyai. Biasana deukeut kana aliran kabatinan, arah pulitikna umumna ka partey-partey nu azasna nasional lain kaagamaan. Cenah mah sikep "abangan" téh, muncunghul tina resistensi pangaruh luar (agama), hayang tetep ngalanggengkeun "kajawaan" (idéntitas sosial). Urang Sunda tangtu wae lain urang Jawa, tapi sigana aya harib-haribna jeung Urang Jawa, ngan beda saeutik, salah sahiji bedana kaum Priyayi (ménak) urang Sunda mah umumna "santri", najan aya ogé anu dumasar kana katurunan bupati. (il. http://www.mail-archive.com/baraya_sunda@yahoogroups.com).

Patalina jeung basa, kelas sosial téh ngabalukarkeun gelarna variasi basa dina wangun sosiolék. Nurutkeun Aslinda jeung Syafyahya (2007:105-106), situasi basa nu digunakeun dina ragam kelas sosial téh béda-béda. Unggal anggota masarakat basa tina séwang-séwang sosiolék tetep renggenek ngahiji nyicingan hiji wilayah anu tangtu, sok sanajan teu matak ngajadikeun wangun basana mibanda warna anu deukeut. Variasi basa dina wangun sosiolék téh ngawengku rupaning pasualan individual panyaturna, kayaning umur, atikan, séks, pakasaban, tingkat kabangsawanan, kaayaan sosial ékonomi, jsté., biasana atra palebah kandaga kecap, pelafalan, morfologi, jeung sintaksisna.

Nurutkeun Chaer jeung Agustina (2004:66), variasi basa dina wangun sosiolék téh aya sababaraha rupa, nya éta:
1)Akrolék; mangrupa variasi nu dianggap leuwih luhur ti batan variasi-variasi lianna.
2)Basilék; mangrupa variasi nu dianggap kurang géngsina atawa asor.
3)Vulgar; mangrupa variasi nu ciri-cirina atra dina panyatur nu kuarang mibanda atikan.
4)Slang; mangrupa variasi nu sipatna husus jeung rahasia.
5)Kolokial; mangrupa variasi nu digunakeun dina gunem catur sapopoé nu wangunna wancahan tina kecap-kecap nu lain basa tinulis, kayaning dok (tina dokter), prof (tina profésor), lét (tina létnan), jsté.
6)Jargon; mangrupa variasi nu digunakeun sacara kawatesanan ku kelompok nu tangtu, kayaning kecap-kecap disiku atawa ditimbang nu digunakeun ku tukang batu atawa bangunan (undagi).
7)Argot; mangrupa variasi nu digunakeun sacara kawatesanan ku widang profési anu tangtu sarta sipatna rusiah, kayaning kecap ngagas nu digunakeun ku copét atawa jambrét.
8)Kén; mangrupa variasi nu nadana dijieun-jieun supaya katinggali pikarunyaeun, biasana digunakeun ku tukang jajaluk.

Masarakat panyatur basa Sunda mibanda konsép ragam basa nu disebut undak-usuk basa Sunda (UUBS). Leupas tina padungdengan perkara perlu-henteu digunakeunana dina pakumbuhan masarakat basa Sunda, UUBS téh mangrupa salasahiji wangun variasi basa dumasar kana tahap-tahapna jalma anu diajak nyarita jeung situasi lumangsungna komunikasi. Nurutkeun Hidayat Suryalaga (2005), dina UUBS tahap-tahapna jalma nu diajak nyarita jeung situasi lumangsungna komunikasi téh mangaruhan kana ragam basa nu kudu digunakeun.

Nurutkeun pola anu normatif- formal (baku) aya dalapan Ragam Basa dina UUBS, nya éta:
a. Ragam Basa Hormat (Basa Lemes), diwangun ku:
1)Ragam Basa Lemes Pisan (Luhur)
2)Ragam Basa Lemes keur Batur
3)Ragam Basa Lemes keur Pribadi (Sedeng)
4)Ragam Basa Lemes Kagok (Panengah)
5)Ragam Basa Lemes Kampung (Dusun)
6)Ragam Basa Lemes Budak

b. Ragam Basa Loma (Akrab, Kasar)
1)Ragam Basa Loma (Akrab, Kasar, Nétral)
2)Ragam Basa Garihal (Kasar Pisan, Songong)

Dina kanyataanana, saeutik pisan kecap anu mibanda dala¬pan tingkat (ragam) wangunna. Anu sering digunakeun mah nya éta Ragam Basa no. 2, no. 3 jeung no. 7.
Parandéné kitu, Fishman jeung Gumperz (dina Aslinda, 2007:106), nétélakeun yén variasi basa samodél kitu téh digunakeunana leuwih ku masarakat tradisional nu boga sipat nutup diri balukar faktor sosial jeung kultural. Demi masarakat modéren mah mangrupa masarakat basa nu kaétang terbuka, dina ngagunakeun basa téh leuwih nyoko kana rupaning variasi dina basa anu sarua.

2.Basa jeung Kelompok Étnik
Kelompok étnik mangrupa katégori askriptif dina rasa (sense) anu klasifikasina didadasaran ku individu, kasang tukang, jeung asal-muasalna. Nurutkeun Parsudi (il. http://prasetijo.wordpress.com), étnisitas mangrupa hiji fénoména nu gelar dina prosés interaksi sosial, maluruh posisi sosial, jeung kakuatan pulitik, anu merelukeun sumber kompetisi antara anggotana jeung anggota kelompok lianna. Kelompok étnik ngawasa jeung némbongkeun idéntitas dirina ngagunakeun jeung nekenkeun kana sipat atawa ciri simbolik anu dipilah tina kabudayaanana sacara gembleng anu ngabédakeun antara dirina jeung nu lianna.

Nurutkeun Phinney jeung Alipora (il. http://www.ujungpandangekspres.com), idéntitas étnik mangrupa hiji wangun konstruksi kompléks nu ngawengku komitmén jeung sense of belonging kana kelompok étnik, évaluasi positif kana kelompokna, karep kana pangaweruh ngeunaan kelompokna, sarta ilubiung dina rupaning kagiatan kelompokna. Salasahiji nu ngawangun kelompok étnik téh nya éta sasaruan papada anggota étnik nu kawangun ngaliwatan sasaruaan prosés diajar, pangalaman, jeung kasang tukang, anu ngajadikeun papadana mibanda sasaruaan adat jeung paripolah.

Patalina basa jeung kelompok étnis bisa disawang ngaliwatan konsép étnografi komunikasi nu dimekarkeun ku Hymes. Dina konsép étnografi komunikasi Hymes, disawang yén tutur téh mangrupa bagian tina interaksi sosial, puseur paniténna mah parabot tuturna (means of speaker) nu ngawengku informasi perkara reperetoar basa lokal, gemblengan variétas, dialék, jeung gaya nu digunakeun dina komunitas (il. Hymes, 1987:4). Nurutkeun Labov mah mangrupa kalang idéntitas (identity markers) atawa kalang tutur (speech markers). Sedengkeun Giles mah nyebutna téh kalang étnisitas (ethnicity markers), dibédakeun jadi tilu situasi kontak: (1) paradigma pilihan basa, (2) paradigma akomodasi, jeung (3) paradigma asimilasi.

Paradigma pilihan basa ayana dina masarakat multiétnik, nu séwang-séwang kelompokna ngagunakeun basana sorangan. Unggal kelompok biasana mah pada-pada teu paham kana basa kelompok lianna, tapi dibeungkeut ku “basa umum” nu mangrupa bahasa persatuan atawa salasahiji basa kelompok nu aya. Contona di Indonésia, séwang-séwang étnikna (Sunda, Malayu, Jawa, jsté.) ngagunakeun basana séwang-séwangan, tapi dibeungkeut ku basa Indonésia salaku basa umum. Sedengkeun paradigma akomodasi jeung asimilasi ayana dina jeroeun kelompok étnikna sorangan, biasana alatan pasualan politik, ékonomi, jeung sosial. Contona di kelompok étnik Sunda, aya basa Sunda lulugu (priangan) jeung aya basa Sunda wewengkon.

Cindekna, idéntitas étnik jeung subétnik téh mibanda kalungguhan interrelasi jeung paripolah sarta sikep basana. Éta hal katémbong ngaliwatan ayana rupaning répertoar (hasanah) basa atawa ayana béda fungsi nu tumiba ka hiji kode dina répertoar anu sarua, salian ti némbongkeun rupaning sikep jalma kana rupaning kode (il. http://dwipur_sastra.staff.uns.ac.id/2009/06/03/etnografi-komunikasi-dan-register/).

3.Basa jeung Bangsa
Pasualan perkara naon ari bangsa mimiti dipatéahkeun ku Érnést Rénan dina taun 1882. Nurutkeun Rénan, bangsa téh mangrupa jiwa jeung hiji asas karohanian balukar tina: (1) aspék historis; pangalaman nu sarua dina mangsa katukang, jeung (2) aspék solidaritas; kahayang pikeun hirup babarengan dina mangsa béh dieu kalawan ngagunakeun warisan mangsa katukang.

Sabada éta, gelar konsép-konsép anyar perkara bangsa. Otto Bauer nétélakeun tiorina, yén bangsa téh mangrupa hiji masarakat nu tartib balukar tina rasa atawa nasib anu sarua. Sedengkeun nurutkeun Rudolf Kjellen, bangsa téh mangrupa hiji organisme biotis nu mibanda jiwa salaku nafsu pikeun hirup, mertahankeun dirina, jeung kahayang pikeun ngawasa. Aya deui tiori géopolitik Karl Haushofer nu nétélakeun bangsa téh dumasar kana faktor géografis salaku faktor nu tetep (konstan). Salian ti éta, konsép bangsa ogé réa dipatalikeun jeung idéntitas anu dijadikeun ciri husus nu ngabédakeun antara bangsa nu hiji jeung bangsa lianna, biasana dina wangun lambang-lambang.

Nurutkeun Suwito (1983:178), kamekaran nasionalisme geus ngadorong kasadaran yén salaku hiji beungkeutan pulitik, hiji bangsa baris leuwih éféktif nalika dibarengan ku beungkeutan sosial. Beungkeutan sosial sarupa kitu téh bisa kahontal nalika éta bangsa mampuh ngurangan rupaning perbedaan nu ngalingkung boh jeroeun boh luareun dirina. Ku kituna, éta bangsa bisa netepkeun idéntitasna salaku beungkeutan nu gembleng sarta mampuh némbongkeun ciri mandirina nalika dipapandékeun jeung bangsa-bangsa lianna.

Salasahiji wangun idéntitas pikeun hiji bangsa téh nyatana basa. Pikeun mibanda idéntitas nu jadi ciri mandiri sarupa kitu unggal bangsa kudu mibanda hiji basa nu bisa jadi papakas komunikasi pikeun sakumna warga, sarta saéstu mangrupa basa bogana sorangan. Hartina, hiji basa pikeun hiji bangsa jadi ciri kultural nu némbongkeun beungkeutan dirina sarta ciri pangbéda jeung bangsa-bangsa lianna.

Luyu jeung konsép fungsi, basa pikeun hiji bangsa téh tangtu mibanda kalungguhan salaku papakas pikeun komunikasi umum nu ngawengku sakabéh warga masarakat dina éta bangsa. Sok sanajan, dina émprona mah aya bangsa anu ngagunakeun leuwih ti hiji basa, atawa sabalikna aya hiji basa nu digunakeun ku sababaraha bangsa. Tangtu baé situasi kabasaaan sarupa kitu dina konsép kabangsaan mah biasana mangrupa kahéngkéran nu perlu pikeun diungkulan. Lian teu némbongkeun idéntitas mandirina, digunakeunana rupaning basa dina hiji bangsa tangtu lain mangrupa hiji hal anu éféktif, sabab sagalarupa hal anu perlu dikomunikasikeun –pangpangna anu sipatna resmi– ditepikeunana kudu ngaliwatan sajumlahing basa anu diaku salaku basa resmi (il. Suwito, 1983:176-180).


C.KACINDEKAN
Dina jihat sosiolinguitik, basa téh disawangna teu saukur salaku sistem tanda, tapi disawang ogé salaku sistem sosial, sistem komunikasi, jeung babagian tina hiji kabudayaan nu tangtu. Ciri umum unggal basa téh ayana pamaké atawa komunikan. Ieu hal ngabalukarkeun basa mibanda sifat arbitrér jeung konvénsional. Unggal masarakat téh diwangun ku individu jeung kelompok nu ngayakeun kagiatan interaksi sosial sarta mibanda pamahaman anu béda-béda kana rupaning pasualan, kaasup dina pasualan basa. Pamahaman anu béda-béda unggal masarakat kana basa téh ngagelarkeun konsép variasi basa. Tina rupaning variasi basa, unggal basa mibanda variasi-variasi salaku hasil tina ayana patalimarga antara individu, kelompok, jeung sikep masarakat kana basana.

Tina éta hal, baris kagambar kumaha patalina basa jeung masarakatna ditilik tina konsép indikator sosial nu ngawengku kelas sosial, kelompok étnis, jeung bangsa.
Patalina basa jeung kelas sosial ébréh dina variasi basa nu disebut sosiolék. Variasi basa dina wangun sosiolék ngawengku akrolék, basilék, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, jeung kén. Dina hasanah basa Sunda aya nu disebut undak usuk basa Sunda nu mibanda dalapan ragam basa. Patalina basa jeung kelompok étnis ébréh dina idéntitas étnik jeung subétnik mibanda kalungguhan interrelasi jeung paripolah sarta sikep basana. Éta hal katémbong ngaliwatan ayana rupaning répertoar (hasanah) basa atawa ayana béda fungsi nu tumiba ka hiji kode dina répertoar anu sarua, salian ti némbongkeun rupaning sikep jalma kana rupaning kode. Sedengkeun patalina basa jeung bangsa ébréh dina perkara salasahiji wangun idéntitas pikeun hiji bangsa téh nyatana basa. Pikeun mibanda idéntitas nu jadi ciri mandiri sarupa kitu unggal bangsa kudu mibanda hiji basa nu bisa jadi papakas komunikasi pikeun sakumna warga, sarta saéstu mangrupa basa bogana sorangan. Hartina, hiji basa pikeun hiji bangsa jadi ciri kultural nu némbongkeun beungkeutan dirina sarta ciri pangbéda jeung bangsa-bangsa lianna.


PABUKON

Alwasilah, A. Chaedar. (1993). Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.
Aslinda, Dra., M.Hum., dan Dra. Leni Syafyahya, M.Hum. (2007). Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: Refika Aditama.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. (2004). Sosiolinguistik, Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Hudson, R.A. (1962). Sociolinguistics. New York: Cambridge University Press.
Kartomihardjo, Soeseno. (1988). Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Nababan, P.W.J. (1991). Sosiolinguistik, Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Prasetijo. (2009). Etnisitas [Online]. Tersedia: http://www.prasetijo.wordpress.com [18 September 2009].
Purnanto, Dwi. (2009). Etnografi Komunikasi dan Register [Online]. Tersedia: http://www.dwipur_sastra.staff.uns.ac.id/2009/06/03/etnografi-komunikasi-dan-register/ [18 September 2009].
Soekanto, Soerjono. (1990). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: RajaGrafindo Perkasa.
Sudaryat, Yayat. (1987). Ulikan Semantik Sunda. Bandung: CV. Geger Sunten.
______________(1989). Ulikan Linguistik. Diktat Kuliah di JPBD FPBS IKIP Bandung.
Sumarsono, Prof. Dr., M.Ed. (2002). Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA & Pustaka Pelajar.
Sunda, Baraya. (2009). (Tanpa Judul) [Online]. Tersedia: http://www.mail-archive.com/baraya_sunda@yahoogroups.com [18 September 2009].
Suryalaga, Hidayat. (2005). Ngungkulan Bangbaluh Ngagunakeun Undak-Usuk Basa Sunda. Makalah dina Kongrés Basa Sunda Ka-VIII di Kab. Subang.
Suwito, Drs. (1983). Soiolinguistik Teori dan Problem. Surakarta: Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret.
Ujungpandangekspres. (2009). Identitas Etnik [Online]. Tersedia: http://www.ujungpandangekspres.com/view.php?id=21228&jenis=Etnik/ [18 September 2009].


Download
Saterasna...